Sebuah karya dari Cyrus Bujung
Ditulis kembali Oleh Iswan Sual, S.S
KEADAAN ALAM
Desa
Tondei terletak di lembah dua gunung yang saling berhadapan, yakni
Lolombulan di sebelah timur dan Sinonsayang di sebelah barat. Kira-kira 9
Km dari pantai. Sebagian besar wilayahnya adalah ladang perkebunan
cengkih dan kelapa. Kedua jenis tanaman ini, karena iklim, sangat cocok
di daerah desa ini. Akibat banyak digunakan untuk ladang perkebunan,
sekarang ini, luas hutan makin berkurang. Penebangan liar umumnya untuk
pembuatan rumah sendiri dan untuk dijual.
Desa Tondei terletak di
suatu lembah yang diapit oleh gunung Lolombulan dan Sinonsayang dengan
ketinggian kurang lebih 1.425 m. Oleh karena letaknya yang demikian,
maka pada waktu tertentu, silih berganti berembus angin pegunungan dan
angin laut. Pada musim kemarau suhu udaranya mencapai 26 derajat Celsius
dan pada musim hujan suhunya menurun sampai 20 derajat Celsius.
Keadaan
tanahnya sangat subur dan sangat baik bagi tanaman-tanaman perkebunan
dan pertanian. Luas desa ini kurang lebih 1 km2 sedang luas wilayahnya
kurang lebih 8 km2. Pada sebelah utara berbatasan dengan wilayah desa
Ongkau dan Tiniawangko, sebelah timur dengan gunung Lolombulan, sebelah
selatan dengan wilayah desa Raanan Baru dan pada sebelah barat dengan
gunung Sinonsayang. Kedudukan desa Tondei sendiri sebagian agak landai,
sebagian pula agak datar. Bagian yang agak landai dulunya, sebelum desa
dimekarkan menjadi tiga, disebut “kampung gunung”, sedang bagian yang
datar disebut “kampung liba”. (Saat ini bagian yang agak landai sudah
merupakan wilayah administratif dari desa Tondei Dua. Sedangkan yang
agak datar sudah menjadi wilayah administratif dari desa Tondei Induk
(baca: Tondei) dan desa Tondei Satu).
Kira-kira 1 km sebelah utara
desa ini pada jalan menuju Ongkau dan Tiniawangko terdapat satu
perkampungan yang baru dengan nama Lumopa. Kadang-kadang juga disebut
dengan Lopana.
Tondei umumnya, terletak kurang lebih 400 m di atas
permukaan laut. Pada sebelah timur berdiri megah gunung Lolombulan dan
gunung Kantil, ebelah barat gunung Sinonsayang dengan perbukitan
Tukadia, Munte, Torosit, Kelemur, ke sebelah utara dengan perbukitan
Paembongan, Pakuntungan dan Pondos.
Di sebelah utara mengalir anak
sungai Tondei, lebih ke utara timur laut mengalir sungai Wawa, Kaluntai
kecil, Aser, Kaluntai wangko, dan Kokitong. Di sebelah timur mengalir
sungai Raanan (kadang-kadang juga disebut sagai), di sebelah selatan
juga sungai Raanan, sungai Suka, Komanga’ang, Neang, sedangkan di
sebelah barat mengalir sungai Raringis.
Hutan-hutan besar terdapat
di lereng gunung Lolombulan dan Sinonsayang yang dihuni oleh beraneka
ragam jenis binatang antara lain yaki (monyet yang tidak berekor), sapi
hutan (anoa), babi hutan (kalowatan), rusa, ular sawah, burung enggang
dan sebagainya. (sekarang ini sulit untuk ditemukan jenis binatang
seperti itu. Orang Tondei suka menkonsumsinya).
Sapi hutan dan rusa
merupakan binatang yang sudah kurang jumlahnya alias langkah, sehingga
sangat perlu dilindungi dari kepunahan. Ini memang agak sulit untuk
dilakukan karena orang Tondei sangat gemar memakan binatang hutan.
Naluri untuk membunuh dan memakan binatang sudah mendarahdaging karena
sudah diwariskan secara turun temurun.
LUAS WILAYAH
Luas
wilayah Tondei cukup besar. Luas desa Tondei pada pembentukkannya ±
200x100 m2, sedang luas pada tahun 1989 yang dicatat oleh A. Moningka
adalah ± 1 km2 (1989:21). Panjang jalan yang menghubungkannya dengan ibu
kota Kecamatan Motoling Barat, Raanan Baru, kurang lebih 9 km.
JUMLAH PENDUDUK
Perkembangan penduduk:
Tahun 1906-1908 : ± 200 jiwa
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
Suku-suku
Suku-suku ; tontemboan, dan beberapa keluarga dari Tolour.
Tondei dikategorikan sebagai desa Swakarya.
Jumlah jaga (dusun):
1908 : 1 jaga
1913 : 2 jaga
1950 : 4 jaga
1968 : 5 jaga
1976 : 6 jaga
1982 : 7 jaga
1984 : 10 jaga
Lingkungan hidup
Sejak
berdirinya desa ini hingga akhir tahun 1977 jalan ini sukar dilalui
kendaraan bermotor. Ini menyebabkan sukarnya rakyat Tondei pergi ke
pasar untuk mengeluarkan hasil pertanian seperti kopra, gula aren dan
sebagainya ke Motoling dan Ongkau.sekarang dengan adanya kegiatan
rajkyat Tondei dalam memperbaiki jalan antara Tondei dan Raanan baru,
maka kendaraan bermotor sudsh boleh memasuki desa Tondei, seklaipun hasu
mengalami keulitan juga di waktu musim hujan. Sepanjang 3 km dari
Tondei ke Raanan Baru jalan ini melntasi daerah perkembunan orang-orang
Tondei, melewati hutan lereng, gunung dengan tebing yang curam di
sebelah kiri sedang di sebelah kanan menganga ngarai yang dalam, dan 3
km melintasi perkembunan orang-orang Raanan Baru. Sering hubungan antara
kedua desa ini terputus kaibat tanah longsong, lebih-lebih pada musim
hujan. Daptlah dibayangkan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat TOndei
dalam soal jalan. Tiap-tiap hari senin rakyat Tondei kerja bakti
memperbaiki jalan sampai jauh dalam perkebunan orang-orang Raanan Baru.
Masyarakat Tondei selalu betanya-tanya bilakang pemerintah ingat akan
jalan perhubungan Tondei-Raanan Baru?
Tondei penghasil kopra
terbesar di kecamatan Motoling membutuhkan jalan yang baik untuk dapat
menyalurkan penghasilannya ke pasaran. Dan masyarakat Tondei bukan saja
menunggu-nunggi tetapi mereka berusaha dan bekerja.
Tondei juga
dihubungkan dengan desa pantai Ongkau dengan sebuah jalan yang
panjangnya kurang lebih 9 km. dari Ongkau jalan ini sudah diaspal
sepanjang 6 km. ada tanda-tanda bahwa pengaspalan jalan ini akan
mencapai desa Tondei. Jika hal ini menjadi kenyataan, maka rakyat TOndei
akan lebih mudah mengankut hasil petaniaannya dengan kendaraan bermotor
ke pasar Ongkau.
Kesehatan
Untuk kepentingan kesehatan dan
urusan KB oleh PUSKESMAS Motoling telah dibuka di Tondei sebua Pos
Kesehatan yang dipimpin oleh seroang jururawat. Pada akhir tahun 1984
tercatat 99 % dari pasangan usia subur sebagai peserta KB.
Pertanian
Perkembangan
di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan agak lamban. Kebanyakkan
petani masih merupakan petani alamiah. Karena suburnya. Tanah pertanian
maka masih jarang orang yang menggunakan pupuk. Kebanyakkan masih
mempraktekkan cara-cara tradisional dalam mengelolah tanahnya.
Pada
tahun 1980 dan 1981 telah diadakan reboisasi di lereng gunung Kantil
sehingga bahaya erosi terhindar, larangan merombak hutan secara liar
dipatui oleh seluruh masyarakat. Petani-petani Tondei mencurahkan
perhatian yang besar pada penanaman kelapa dan cengkih, tetapi kurang
perhatian pada bersawah dan berladang. Untunglah pemerintah desa Tondei
sekarang giat berusaha menyadarkan dan membimbing rakyat agar bergaiaran
menanam tanaman musiman terutama pada dan jagung. Salah satu usaha kea
rah maksud tersebut pemerintah desa telah membuat satu kebun percontohan
dengan kerja sama dengan BLPP Kalasey sebai Pembina dan pelatih.Mesin
paras
Orang yang lahir di Tondei pertama kali adalah nenek
wongkar gerung sekitar tahun 1906. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk
di desa Tondei Raya banyak mengalami peningkatan. Ini juga sangat jelas
terlihat dari dimekarkannya desa Tondei menjadi 3 desa, yakni desa
Tondei Satu, Tondei Dua dan Tondei. Beriktu ini data mengenai
kependudukan dari ketiga desa:
Zaman Prasejarah
Keadaan pada
masa prasejarah tidak banyak diketahui orang. Konon, daerah ini
merupakan lalu lintas pahlawan-pahlawan Tontemboan yang pergi ke Poigar
dan Mariri yang merupakan wilayang kerajaan Bolaang Mongondow untuk
bertempur dan berperang, sewaktu berkobar perang antara Sub suku
Minahasa (Tontemboan) dan Bolaang Mongondow. Setelah perang selesai,
banyak di antara pahlawan-pahlawan itu menetap di Mariri bahkan menyebar
hingga ke wilayah Doloduo. Meskipun tinggal jauh dari tanah Minahasa
mereka tetap berbahasa Tontemboan.
Dalam perjalanan pulang, banyak
pula diantara mereka yang singgah dan menetap di Mawale yang sekarang
ini disebut Tondei. Jadi orang yang bepergian dari Tompaso Lama ke
Mariri atau sebaliknya awalnya menjadikan Mawale sebagai tempat
persinggahan. Mereka menetap. Dan lama kelamaan mereka bertambah banyak,
mereka dinamai orang-orang Raanan karena tinggal dekat anak sungai yang
bernama Raanan.
Arti Raanan tidak diketahui orang dengan pasti,
karena kata itu berasal dari bahasa Mongondow. Nama-nama perkebunan
lainya juga berasal dari bahasa Bolaang Mongondow: Neang, Suka,
Komanga’ang, Kaluntai, Aser, dan sebagainya. Hal ini tidaklah
mengherankan karena daerah ini pernah dimiliki dan dihuni oleh
orang-orang dari suku Bolaang Mongondow di masa lalu.
Menurut cerita
tua, bahwa dahulu ada seorang raja Bolaang Mongodow yang bundanya
seorang Putri Minahasa meminang putri dari suku Tontemboan. Raja yang
bernama Damopolii itu memberi wilayah antara sungai Ranoiapo sampai
sungai Poigar sebagai mas kawin kepada suku Tontemboan. Selama Damopolii
menjadi raja, wilayah yang diberikan itu, yang disebut dengan Lewet,
tidak pernah diganggu oleh orang Bolaang Mongondow. Tetapi setelah dia
mangkat, orang-orang Bolaang Mongondow beriktiar untuk merampas daerah
itu. Inilah yang menyulut peperangan di antara Bolaang Mongondow dan sub
suku Tontemboan. Konon, sub-sub suku lainnya seperti Tombulu dan
Tondano turut membantu. Pada masa perang orang-orang Tontemboan dari
Tompaso Lama, Tombasian dan sekitarnya menyerbu dan memukul mundur
Bolaang Mongodow sampai ke Mariri dan membersihkan daerah Lewet dari
orang-orang Bolang Mongondow. Itulah sebabnya maka nama-nama sungai dan
perkebunan serta gunung sekitar desa Tondei juga berasal dari bahasa
Mongondow.
Namun, menurut versi lain, menyebutkan bahwa kata Raanan
berasal dari bahasa Tontemboan yakni “ra’an” yang artinya padi yang
sudah lama disimpan yang dipanen pada beberapa musim yang lampau, belum
habis dikonsumsi, kini tiba musim penuaian yang baru. Maka hal ini
merupakan pula gambaran tentang kelimpahan yang dinikmati oleh
orang-orang Raanan di masa lalu.
Kedatangan para perompak bangsa
Mangindanau yang menculik orang-orang Tontemboan untuk dijual ke
negerinya sebagai budak, ditambah pula dengan bercabulnya wabah penyakit
yang berbahaya, memaksa orang-orang Raanan itu meninggalkan “Mawale”
dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka pergi wilayah lain yang
bernama Lutau atau Sagai. Yang letaknya kurang lebih 50 meter di sebelah
selatan desa Tondei Sekarang, dekat sebuah mata air. Kebenaranya dapat
dibuktikan dengan adanya sebuah lesung batu yang besar, yang tertanam di
dalam tanah kurang lebih 1 setengah meter tingginya di atas tanah. Pada
dinding luarnya terdapat ukiran pria dan wanita yang sedasng menari.
Mereka
tak dapat tinggal lama di tempat itu. Tempat itu tercium oleh perompak
Mangindanau atau Mindanau (baca: orang Filipina). Karena gangguan kaum
perompak ini, mereka terpaksa meninggalkan tempat ini lebih jauh lagi.
Sebagian dari orang Raanan ini ada yang mengungsi ke Rata Laur-suatu
daerah yang terletak di antara desa Raanan Baru dan Malola sekarang. Ada
juga sebagian yang menuju dan menetap di di Lompad di sebelah barat
desa Raanan Baru sekarang. Kemudian kedua bagian itu meninggalkan
tempat-tempat persinggahan mereka karena kemungkinan menurut petunjuk
opo-opo melalui bunyi burung Manguni (wala) tempat-tempat itu tidak baik
untuk dijadikan kampung. Mereka mencari tempat yang bergunung-gunung
dan dikelilingi jurang-jurang agar terlindung dari ancaman perompak
Mangindanau ini. Sesuai dengan dengan petunjuk opo-opo melaui isyarat
burung Wala tempat itu ditemukan. Mereka menetap di tempat itu yang
dinamai Raanan Lama sekarang.
Tiada seorangpun yang tahu dengan
pasti, bilakah orang-orang Raanan mendirikan perkampungan Mawale yang
terletak di sebelah barat desa Tondei sekarang. Namun ada beberapa
secara yang dapat dijadikan dasar perkiraan.
Pertama, menurut sejarah
Minahasa yang ditulis oleh bapak B. Supit bahwa pada akhir abab ke-17
terjadi perang antara Loloda Mokoagow alias Datuk Binangkang, raja
Bolaang Mongondow dan para ukung di Minahasa. Orang-orang Minahasa
mengalahkan prajurit-prajurit Loloda, dan memburu mereka sampai ke
daerah Bolaang. Mawale menjadi tempat persinggahan mereka dan ada pula
yang menetap.
Pada tahun 1694 ditetapkanlah sungai Poigar sebagai
batas antara Minahasa dan Bolaang Mongondow. Beralas pada kejadian ini,
maka diperkirakan Mawale didirikan antara tahun 1693 dan 1694.
Kedua,
dalam tahun 1708 telah terjadi perang antara Walak Kakas dan Walak
Sonder. Banyak yang jatuh korban di pihak Walak Sonder. Para taranak
Sonder merasa tidak puas terhadap pemimpin Walak lalu mengungsi ke
selatan, ke Bolaang, melintasi daerah Mawale. Kemungkinan ada yang
singgah dan menetap di sana.
Ketiga, dalam tahun 1764 terjadi perang
antara Walak Bantik dan Walak Tombariri. Untuk menghindari pertempuran,
banyak yang melarikan diri ke selatan dan diduga banyak dari antara
mereka melewati Mawale atay menetap di sana. Sebagian besar langsung ke
Bolaang Mongondow. Mereka diterima dengan baik oleh raja Salomon Manopo
dan mengijinkan mereka mendirikan dua perkampungan yakni Mariri dan
Po’opo
Beralas pada penuturan orang-orang tua Tondei dan ditambah
pula dengan fakta sejarah di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa Mawale telah didirikan antara tahun 1693 dan tahun 1694 oleh
orang-orang Tumompaso, Sumonder, Tombariri, dan suku-suku dari utara
Minahasa yang kemudian di sebut sebagai orang-orang Raanan.
Sumber
lain memberitahu bahwa Mawale adalah suatu tempat lokasi perkampungan
orang-orang yang mencari nafakah (ikan hutan) lalu oleh karena
orang-orang yang bermukim di situ bukan orang asli dari lokasi tempat
tersebut karena jarak desa mereka dengan tempat mencari nafkah jauh,
sehingga dalam beberapa waktu kemudian, tempat mereka (Raanan Lama,
Wanga, Lompad) jadikan tempat istirahat atau terung (pondok) mereka
mulai membuka lahannya sambil menanam palawija berupa jagung,
kacang-kacangan, ubi, pisang dan kelapa.
Kemudian setelah beberapa
tahun mereka bermukim di situ mereka mulai mendapat tantangan yang
diistilahkan mamuis (orang mengambil kepala orang) dari Mangindanou.
Padahal orang-orang Mangindanou bukan mengambil kepala orang tetapi
menculik orang-orang Minahasa untuk dibawah di Mangindanou (Filipina)
untuk dijadikan budak. Selain itupula masyarakat pemukim di lokasi
tersebut diserang dengan penyakit malaria; sehingga mereka terpaksa
tinggalkan lokasi tersebut beberapa tahun lamanya. Hal itu terjadi
sekitar tahun 1800.
ZAMAN TUMANI
Berdasarkan penuturan
oran-orang tua daerah yang pernah didiami oleh orang-orang Raanan dulu
di lembah antara gunung Lolombulan dan Sinonsayang itu amat subur dan
sangat baik bagi pertanian. Ceritera tentang kesuburan tanah, banyaknya
binatang buruan dan lain-lain tersebar luas pada akhir abad ke 19 ke
desa-desa Raanan Lama, Raanan Baru, Motoling (Moloting: tuli-tempat
persinggahan) dan Wanga. Ini yang menyebabkan mereka bersepakat untuk
mencari dan menyelidiki daerah Mawale yang merupakan bekas perkampungan
orang-orang Raanan.
Kemudian areal tersebut dicari ulang kembali
oleh pemukim-pemukim yang masih hidup tetapi ternyata setelah mereka
datang, Tonaas dan orang-orang tua yang bersama-sama memelopori untuk
mencari areal perkampungan bukan lagi di lokasi tersebut akan tetapi
sesuai dengan tanda melalui bunyi burung manguni makasiow sudah agak
berpindah ke sebelah timur tidak jauh dari lokasi pemukiman pertama,
yaitu yang sekarang dinamakan kampung Tondei.
Kira-kira tahun 1903
rombongan pertama di bawah pimpinan tokoh-tokoh perintis seperti Tonaas
Daniel Muntu-untu dari Motoling dan Jusof Wongkar dari Raanan Lama
(Ro’ong Ure) menemukan daerah itu dan hasil penyelidikan sangat
memuaskan.
Pencari tempat yang baik untuk ditempati oleh masyarakat
disebut tonaas atau kepala suku. Kepala suku atau tonaas memakai tanda
bunyi burung yang dijelaskan tadi. Lalu setelah ternyata setelah tonaas
menentukan tempat pemukiman masyarakat yang ditandai oleh bunyi burung
manguni yang diyakini oleh tonaas maka tempat itu diadakan pengresmian
melalui tonaas yaitu yang disebut atau diistilahkan dengan: tumani.
Dengan cara mengambil suatu lokasi yang baik untuk pelaksanaan tumani
tersebut. Tanda atau tumani tersebut dilaksanakan oleh yang dituakan
atau Tonaas. Desa Tondei disahkan/tumani oleh Tonaas Daniel Muntu-untu,
Jusof Wongkar, Timporok, Mogogibung dan Sual (dikenal dengan sebutan
Mandor. Karena bekerja sebagai mandor.) .
Menurut penuturan dari
keturunan Jusof Wongkar bahwa sebelum Tondei ditetapkan sebagai wilayah
perkampungan mereka-rombongan pimpinan Daniel Muntu-untu, Yusof
Wongkar,. (yang menyertai mereka adalah Mogogibung, Timporok (ayah dari
Hero Timporok) berkomunikasi kepada opo-opo melalui burung wala. Tidak
diketahui dengan pasti apakah mereka datang secara bersamaan namun.
Awalhya mereka mendengarkan suara burung. Kemudian diberitahukan secara
magis bahwa jika ingin mendirikan kampung di wilayah tersebut maka ada
yang harus ditumbalkan usahakan mencari orang atau binatang. Batasnya
adalah jam 9 pagi. Kalau tidak berarti salah satu dari mereka harus
dijadikan tumbal. Karena dalam pencarian sulit akhirnya mereka
memutuskan bahwa salah satu dari teman mereka yang bertugas sebagai juru
masak. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan sejenis ular besar. Dan
akhirnya mereka membunuh binatang itu dengan pepetur (senjata) dan
menyuruh orang yang sebenarnya kan ditumbalkan (rages) itu untuk
membawanya.
Saat itu masih banyak orang Mongondow yang berkeliaran di
lokasi. Sering mereka muncul dan menakut-nakuti anak-anak supaya orang
tidak bisa tinggal di sini. Seorang yang bernama Timporok menemukan dua
orang Mongondow, konon merkea berkelahi satu dipotong telinganya
kemudian disuruh pulang. Satunya lagi mati dan dipotong kepalanya dan
dijadikan tumbal. Kepalanya dan kepala ular serta ekornya ditanamkan di
di tanah dimana gedung GMIM berdiri sekarang.
Setelah mendengar
bahwa jusof wongkar sudah membuka perkampungan baru di Tondei,
keluarganya yang dari Paku ure datang berombangan dan mendiami tondei.
Usaha
mencari tempat itu disebut “Tumonder”. Dalam bahasa Tontemboan yang
artinya: mencari kembali bekas perkampungan Mawale. Hasil penyelidikana
disebarkan ke desa-desa tersebut di atas. Sejak tahun 1903 rombongan
demi rombongan datang berangkat ke daerah Mawale untuk merombak hutan
dan membuka perladangan padi dan jagung. Bila panen tiba hasilnya dibawa
pulang ke desa-desa masl mereka. Hal ini menimbulkan kesulitan. Jalan
untuk kendaraan roda sapi belum ada dan muatan diangkut di atas punggung
kuda. Keadaan ini mendorong petani-petani untuk menetap dan mendirikan
satu perkampungan baru.
Berdasarkan hasil wawancara C. Bujung, Pada
tahun 1906 dalam musim “Soroh wangko” atau kemarau panjang dalam bulan
Agustus, sebelum membuka perladangan padi, para Tonaas memutuskan akan
membuka perkampungan baru melalui suatu upacara keagamaan. Konon di
tahun ini ada seorang anak yang lahir. Dipanggil nenek Gerung.
Tempat
yang dipilih untuk meletakkan dasar pembangunan pembangunan
perkampungan jaraknya kurang lebih 700 meter di sebelah timur mawale.
Kira-kira di sebela selatan kintal/halaman gedung GMIM Tondei sekarang.
Walaupun para pendiri desa Tondei sudah beragama Kristen, namun mereka
belum meninggalkan kebiasaan-kebiasaan nenek moyang. Mereka merasa perlu
menanyakan kepada Opo-opo apakah orang-orang yang kan menghuni
perkampungan yang akan didirikan itu boleh hidu makmur dan sejahtera.
Opo-opo akan menjawabnya melalui isyarat buru Wala. Bunyi burung yang
akan terdengar sebagai jawaban mengandung dua arti: membenarkan atau
menolak/melarang. Diperlukan 9 kali jawaban setuju berturut-turut.
Jalannya
upacara sebagai berikut: Tonaas meniup semacam suling “Sumoring”
namanya. Melalui isyarat ini ia menanyakan kepada opo-opo apakah tempat
itu baik dijadikan kampung. Pada sumoring pertama jawaban opo-opo
melalui bunyi burung wala “ membenarkan”. Mendengar jawaban setuju,
Tonaas mematah-matahkan sebaikan dari sebuah lidi enau yang kering dan
memasukkannya e dalam sebuah periuk tanah yang telah disediakan.
Sembilan kali Tonaas meniup suling, sembilan kali jawaban setuju dari
opo-opo melalui bunyi burung dan sembilan patahan lidi telah diisi dalam
periuk tanah. Sembilan patahan lidi itu desebut “siow lentuk”. Setelah
diperoleh 9 jawaban setuju, oleh Tonaas, diumumkan bahwa opo-opo setuju
di tempat itu dibangun perkampungan. Periuk yang berisi siouw lentuk
dimasukkan dalam sebuah lobang, kemudian ditimbuni menjadi “batu
pertama” pembangunan perkampungan itu.
Jadi mengenai diresmikannya
Tondei ada sedikit perbedaan. Antara hasil wawancara penulis dengan
beberapa narasumber dan hasil wawancara C. Bujung. Kemungkinan perbedaan
data ini disebabkan oleh wawancara yang kurang jujur atau informasi
yang sengaja kurang. Ada beberapa yang tak mau disingkapkan. Tapi yang
sama adalah mengenai letak pelaksanaan upacara tumani.
Sumber yang
satu menyebutkan bahwa yang tanam dalam tanah adalah kepala manusia dan
kepala dan ekor ular. Sedangkan sumber yang lain menyampaikan bahwa yang
ditanam adalah kure. Kemungkinan besar adalah kure itu adalah benda
yang sama dengan kepala manusia dan kepala dan ekor ular. Namun karena
dilakukan secara magis mungkin juga dirahasiakan kepada khalayak ramai
maka yang dilihat hanyalah kure bukan kepala manusia. Opo juga
mengatakan bahwa banyaknya Madumi dari ular patola ini merupakan
cerminan dari banyaknya penduduk Tondei nanti. Siapa saja yang datang,
apakah akan bekerja atau urusan lain, akan kembali dan tinggal di
Tondei. Di ujung kampung (aer Tondei) rupanya sudah ditaruh semacam
jimat penghalang bahaya sekaligus penarik penduduk untuk tinggal. Namun,
konon semenjak batu itu digusur oleh alat besar-loader-karena
pengerjaan jalan, malapetaka mulai terjadi di Tondei. Jimat yang
diletakkan itu sudah hilang kesaktiannya.
Pada mulanya orang menamai
kampung itu “Toinondeian” yang artinya “dicari kembali” dan pada tahun
1908, tatkala tempat ini diakui sebagai dusun di bawah pemerintahan desa
Raanan Baru namanya disingkat menjadi Tondei.
Tondei artinya sudah
didapat dulu lalu ditinggalkan beberapa waktu. Kemudian,dalam beberapa
waktu atau tahun dicari kembali lokasi pemukiman tersebut. Atau dalam
bahasa Tontemboan, tinondeian. Dengan kesepakatan bersama oleh Tonaas
dan orang-orang tua dan walian (guru agama alifuru) desa yang akan
didirikan hendaknya dinamakan Tondei. Karena dicari kembali.
Awal pemerintahan
Dengan
bertambahnya orang yang datang, untuk menjamin keberlangsungan
kehidupan social, perlu ada suatu pemerintahan sebagai wakil Hukum Tua
ditunjuklah salah seorang pendiri perkampungan ini, yakni Jusof Wongkar
yang berasal dari Raanan Lama dengan panggilan “Perewis”. Dialah yang
menjalankan pemerintahan sehari-hari atas nama Hukum Tua Raanan Baru di
tahun 1908 sampai 1915.
Dalam bulan November 1913, tanggalnya tidak
diketahui dengan pasti, perkampungan itu diresmikan sebagai satu desa
yang berdiri sendiri lepas dari pemerintahan desa Raanan Baru. Desa
Tondei dapat memilih Hukum Tuanya sendiri. Kira-kira dalam tahun 1915
diadakanlah pemilihan Hukum Tua dan terpilih sebagai Hukum Tua pertama
ialah bapak Demas Kawengian. Penduduk waktu itu kurang lebih 1000 jiwa
dengan jumlah jaga tiga. Sesudah perang deunia II datanglah menetap di
Tondei beberapa keluarga dari Seretan dan Langoan.
Desa Tondei diakui
sebagai perkampungan pada tahun 1908 di bawah pemerintahan Hukum Tua
Raanan Baru dan nanti pada tahun 1913 diresmikan sebagai desa yang
berdiri sendiri dalam Onderdistrik Tompaso Baru, sekalipun Hukum Kedua
berkedudukan di Motoling. Di bawah ini dicantumkan berturut-turut
nama-nama Hukum Tua yang pernah memerintah desa Tondei sejak
terbentuknya hingga sekarang:
1. Jusof Wongkar, wakil Hukum Tua Raanan Baru di Tondei (1908-1915)
2. Demas Kawengian, Hukum Tua pertama (terpilih) (1915-1931)
3. Isaak Sumangkut, Hukum Tua (terpilih) (1931-1940)
4. Israil Lumowa, Hukum Tua (terpilih) (1940-1946)
5. Herling Lumenta, Hukum Tua (wakil) (1946-1947)
6. Herling Lumenta, Hukum Tua (terpilih) (1947-1959)
7.
Marinus Pondaag, Hukum Tua (ditunjuk) (1960-1964) mengepalai rakyat
Tondei dalam pengungsian di Raanan Baru semasa pergolakan Permesta juga
setelah kembali ke Tondei pada tahun 1961. (pada pusara tertulis bahwa
dia menjadi Hukum Tua antara tahun 1957-1964, penulis)
8. Herling Lumenta, Hukum Tua (1964-1968)
9. Bernard Lumapow, Hukum Tua (Terpilih) (1968-1973)
10. Julian Wongkar (ditunjuk kemudian dipilih) (1973-1979)
11. John Lumapow, Pd Hukum Tua (ditunjuk) (1979-1980)
12. Johanis Sengkey, Wakil Hukum Tua (ditunjuk) ((1980-…)
13. Julian Wongkar, Hukum tua (terpilih) (1980-1983)
14. Gustaf Lumapow, Pd. Hukum Tua (ditunjuk) (1983-1984)
15. Laloan L.L. Sumangkut, Kepala Desa (terpilih pada 9 Juni 1984-1992)
Menurut catatan C. Bujung sampai 1993.
16. K. Lumapow (1993 Oktober-November)
17. Hukum tua terpilih atas nama Yulian L. Wongkar (1992-1997)
Pada
tanggal 21 Oktober 1993 bukan 1992, dalam pemilihan Kepala Desa, J.L.
Wongkar meraih suara terbanyak (460 suara). Calon waktu itu adalah J.L.
Wongkar, Laloan Sumangkut, M. Lumapow, Modi Tambaani, Aki Lumowa, Stangs
Pelle, Daniel Lumenta, Nus Wongkar.
Pada 2 November dilaksanakan
serahterima dari K. Lumapow ke J.L. Lumapow. Acara dimulai jam 9.
menurut pengumuman oleh pjs kepala desa jam 8. yang memberikan sambutan
adalah K.Lumapow, kades baru, wakil orang-orang tua sebenarnya Manuel
Lumapow, tapi digantikan oleh ibu Stangs Pelle, wakil BKASUA: C. Bujung.
Pada tahun 1997 desa Tondei dimekarkan menjadi tiga desa, yakni desa Tondei, Tondei Satu, dan Tondei Dua.
PENDIDIKAN
Menurut tulisan C. Bujung:
Di Tondei terdapat 6 sekolah, yakni:
1. taman kanak-akanak gmim dorkas tabita
2. SD GMIM
3. smp Kristen, ketiga sekolah ini dibawah asuhan Jemaat GMIM
4. taman kanak-kanak GPdI “Hana”
5. SD GPdI kedua sekolah ii dibawah asuhan jemaat GPdI
6. SD INPRES SDN
SD GMIM
Pada
tahun 1970 diinstruksikan bahwa tiap-tiap SD harus didampingi oleh
sebuah TK. Kepala SD GMIM C. Bujung mendirikan TK GMIM dengan nama
“Dorkas Tabita” dan menunjuk seorang guru SD GMI diperbantukan pada TK
tersebutu. TK ini didirikan pda tanggal 5 Juli 1970.
Berturut-turut TK ini telah dipimpin oleh guru-guru SD GMIM dpb:
• Ny. D. lumapow-sumangkut (1970-1973)
• Ny. L.E. Rawung-Lumowa (1973-1976)
• Ny. N. Lumowa-Bella (1976-hingga sekarang)
Sebagai
tenaga sukarela bekerja juga pada TK “Dorkas Tabita “ 2 guru tamatan
KPG jurusan TK yakni Ny. A. Pangkey-Palapa dan Ny. S. Kawengian Oping.
Pada
permulaan tahun 1984 Pemerintah menempatkan seorang guru Pegawai Negeri
Sipi pada Tk ini yakni Nona Meity Umboh dari Karimbow.
Pada tahun
1908 dibuka sebuah Sekolah Dasar yang berstatus swasta penuh dibawah
asuhan jemaat Masehi setempat. Tujuannya untuk menampung anak-anak
petani yang mulai menetap di perkampungan Tondei. Sekolah sedemkiaan
disebut sekolah liar atau Wilde School ssesuai istilah pada waktu itu,
yang biasa dikenakan pada sekolah-sejlah swasta penuh.
Pada tahun
1913 desa Tondei diresmikan sebagai desa yang berdiri sendri. Pada tahun
itu juga sekolah jemaat itu diresmikan menjadi sekolah bersubsidi
diabwah asuahan Nederlands Zenderlings Genooschap, sebuah Lembaga
Pengijilan Belanda. Guru yang telah memimpin sekolah itu di masa masih
berstatus “sekolah liar” diganti dengan seroang guru dari NZG.
Pada
tahun 1934 tatkala GMIM memproklamasikan dirinya sebagai gereja yang
berdiri sendri maka sekolah NZG itu menajdi Sekolah Rendah GMIM sesudah
perang dunia II nama sekolah Rendah menjadi Sekolah Rakyat dan pada
tahun 1964 menjadi Sekolah Dasar hingga sekarang.
Sejak berdirinya
sebagai sekolah NZG pada tahun 1913 sekolah mempergunakan gedung gereja
sebagai tempat belajar. Rumah ibadah itu dibagun di atas kintal yang
dihadiahkan oleh keluarga Tumanduk milik GMIM.
Pada masa pendudukan
Jepang (1942-1945) dikeluarkan perintah, bawah sekkolah-sekolah tidak
boleh lagi mempergunakan gedung gereja untuk tempat belajar. Berdasarkan
perintah itu maka pada thaun 1944 Pemerintah desa Tondei berusah
mencarikan kintal untuk Sekolah Rendah yang sekarang disebut SD GMIM
Tondei, oleh karan pada masa itu hanya ada satu SR yang melayan
pendidiikan bagi anak-anak dari seluruh masyarakat Tondei,yakni SR GMIM
Tondei maka menjadilah pula kewajiban seluruh masyarakat Tondei untuk
meyediakan keperluan sekolah termasuk kintal, gedung sekolah, alat-alat
sekolah dan sebagainya. Hokum Tua TOndei pada amsa itu almarhum Israel
Lumowa sesudah bermusyawarah dengan pamong-pamoong desanya mengutus
kepala jaga Markus Lumenta (almarhum dengan kepala jaga Aris Poluakan
almarhum membicarakan dengan bapak Zet Oping tengan penukaran sebuah
tanah kebun milik umum dengan kintal dekat pekuburan umum milik almarhum
tersebut. Dalam pembicaraan itu diperoleh kata sepakat oleh Israil
Lumowa sebagi Hukum Tua menyerahkan kintal itu pada kpala S.R. Tondei
alm IZaak Djajus Umboh Rawung menjadi kintal sekkolah milik S.R. GMIM
Tondei. Pada tahun 1945 dan 1946 kintal itu dipergunakan sebagai
lapangan olahraga. Pada tahun 1947 kintal itu dibersihkan selurunya dan
pada tahun 1948 mulai dibangun gedung S.R. GMIM. Pada peresmian gedung
sekolah itu di tahun 1950 kepala Distrik Amurang didampingi Hukum Tua
Tondei Herling Lumenta menyerahkan gedung sekolah besama kintalnya
kepada kepsek I.D.U. Rawung untuk dipergunakan. Pada tahun 1957 atas
usaha kepada S.R. GMIM Tondei yang menghubungi pemerintah Daerah
Minahasa melalui kepala distrik Motoling Lengkei dijanjikanlah bantuan
untuk pembangunan gedung S.R. GMIM Tondei, bantuan pertama yang diberkan
adalah 10 lembar seng dan beberapa pulu drum aspal untuk lantai gedung
sekolah. Pada tahun 1957 tanggal25 November diadakan peletakkan batu
pertama bagi pembangunan gedung itu, tepat di hari ulang tahun S.R. GMIM
Tondei yang ke-44. Turut meletakkan batu pertama:
• C. Bujung Kepala S.R. GMIM Tondei
• H. Lumenta sebagai Hukum Tua Tondei
• A. Lumapow sebagai guru jemaat GMIM
• L. Bella (kemudian hari menjadi Drs. L. Bella)
• Ny. A.J. Bujung-Moningka sebagai guru S.R. GMIM Tondei
Untuk
memimpin pembangunan gedung ini oleh pemerintah distrik Motoling
dikirim 2 tukang dasri Motoling yang gajinya ditanggung oleh pemerintah.
Bahan-bahan seperti kayu, pasir, batu dan sebagainya disediakan oleh
rakyat Tondei. Saying pembangunan gedung ini tidak dapat diselesaikan
akibat perang saudasra atau lazim disebut “pergolakkan permesta”. Pada
tahun 1959 dan 1960 sebahagian rakyat Tondei diungsikan ke Raanan Baru,
termasuk guru-guru dan sebagian besar murid-murid S.R. GMIM Tondei. Baik
guru maupun murid semuanya ditampung di S.R. GMIM Raanan Baru. Untuk
menjaga agar nama S.R. GMIM Tondei jangan terhapus atau hilang dari
daftar sekolah-sekolah, maka Kepala SEkolahnya memohon ijin kepada
kepala pejabat pendidikan daerah Minahasa di Manado untuk membuka S.R
GMIM Tondei dalam pengungsian di Raanan Baru. Perjalan ke Manado melalui
daratan tak mungkin karena berbahaya. Yang ditempuh ilah melalui jalan
laut. Di manado permohonanna itu diluluskan. Setiba kembali di Raanan
Baru maka paa tanggal 25 November 1960 pada HUT S.R. GMIM Tondei yang ke
47 dibukalah S.R. GMIM Tondei dalam pengungsian dengan kepala sekolah
tetap C. Bujung dan guru-guru pembantu: Ny. A. J. Bujung-Moningka, Ny.
O. Sual-Ngion, D.L. Sumangkut, dan M. Sual. Sekolah berjalan terus
hingga masa penyelesaian. Masa pergolakan berakhir dan pada akir tahun
1961 rakyat Tondei yang telah mengungsi di Raanan Baru kembali pula ke
Tondei. S.R. GMIM Tondei yang telah diungsikan ke Raanan Baru embali
pula dihidupkan di Tondei. Gedung yang semerntara dibangun ketika
pergolakan dan terbengkalai karena perang kini tinggal rang-rangkanya
sebagian besar sudah lapuk. Hingga tahun 1970 SD GMIM memakai gedung
darurat. Pada tahun 1971 gedung SD GMIM mulai dibangun dan dianggap
selesai tahun 1975. pada tahun 1982 kantor SD GMIM Tondei selesai
dibangun. Guru-guru yang menghidupkan kembali SD GMIM Tondei
sekembalinya dari pengungsian adalah:
• C. Bujung kepala sekolah
• Ny. A.J. Bujung-Moningka pembantu
• Ny. O.M. Sual-Ngion pembantu
• M. Sual pembantu
• D.L. Sumangkut pembantu
SMP KRISTEN TONDEI
Majelis jemaat GMIM Tondei periode 1982-1986 melihat kenyataan bahwa:
•
Sangat kurangnya anggota masyarakat Tondei yang berpendidikan
menenganh, apalagi yang berpendididkan tinggi sehingga emreka yang
meyandang gelar sarjana masih dapat dihitung dengan jari.
• Demikian
banyaknya murid lulusan SD menjadi siswa SMP di Motiling, Paku Ure,
Amurang, Raanan Baru, malahan di Tompaso Baru dan Manado, tetapi banyak
yang putus sekolah dan sedikit atau kurang yang meneruskan pelajarannya
ke sekolah lanjutan tingkat atas dan sekolah tinggi.
Menyadari penyebabnya antara lain:
•
Anak lulusan SD yang berusia 12 atau 13 tahun kebanyak mersa berat
meninggalkan orang tuannya menjai murid SMP di negeri yang jauh dari
orang tuannya apalagi yang dimanjakan oirang tuannya. Kerinduan kepada
orang tua memaksa sering bolos untuk kembali ke kamung, lebih-lebih
tempak ia mondok ia diperhdapkan dengan peraturan-peratuan dan
pembatasan-pembatasa yang tak pernah dialaminya di arumahnya. Banyak
bolos yang menuju ke putus sekolah.
• Bahsa dalam umur sekian masih
sangat diperlukan kontrrol langsung dari orang tuanya, lebih-lebih pada
jam-jam di luar sekolah. Kebanyakkan mereka lekkas terpengarauh oleh
lingkungannay yang baru. Jam sekolah menjadi jam bolos, uang SPP menjadi
uang pembeli rokok, pengangna dan sebagainya. Akhrinya putus sekolah.
• Dll
Majelis
jemaat GMIM berkesimpulan, bahwa untuk mengatasi hambata-hambatan ini
dirasa perlu untuk mendirikan satu SMP Kristen di Tondei. Ketua Jemaat
GMIM Tondei bapak C. Bujung sesuai dengan tugas yang dipercayakan
Majelis Jemaat, menghubungi instansi-instansi yang berwenang dan kepala
dinas pendidikan dan persekolahn GMIM di Tomohon. Mereka yang dihubungi
menyatakan persetujuannya. Kepala kantor depdikbud kecamatan Motolig,
bapak H.F. Sondakh memberikan dorongan, penjelasan demi mempercepat
terlaksananya cita-cita ini. Dalam suatu kesempatan sesudah ibadah oleh
ketua jemaat dijelaskan kepada jemaat sebab dan tujuan mendirikan SMP
Kristen Tondei di tengah-tengah jemaat GMIM Tondei. Sambutan Jemaat
sangat menggembirakan. Pada bulan Mei 1982, dibuatlah surat permohonan
secara resmi kepada kepala dinas pendidikan dan persekolahan GMIM di
Tomohon yang ditandatangani masing-masing oleh C. Bujung sebagai8 ketua
jemaat dan bapak H.B. Sondakh sebagai sekretaris jemaat GMIM Tondei. Dan
dibawa sendiri ke Tomohon oleh ketua jemaat. Sementara itu jemaat
sedang giat membantun gedung sekolah. Gedng yang sedang dibangun semua
direncanakan untuk TK kini dibangun untuk SMP Kristen dengan ukuran 21x7
m, terdiri atas tiga bilik dengan bentuk permanent.
Pada bulan
agustus 1982 diterima surat keputusan dari kepala dinas pendidikan dan
persekolahan GMIM yang bertanggal 30 Juni 1982, no 2430/K/H/V/6-82,
anata lain isinya: terhitunga mulai tanggal 1 Juli 1982 di jemaat GMIM
Tondei desa Tondei Kecamatan Motoling Dati II Minahasa didirikan atau
dibuka sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) Kristen Tondei.
Datangnya
SK ini lebih memperbesar semangat jemaat dalam menyelesaikan
pembangunan gedung SMP> dalam bulan Januari 1983 gedung SMP selesai
dibangun dan pada bulan Februari digiatkanlah pembuatan perlengkapan
SEkolah(meja, bangku dan sebagainya) semua rampung pada bulan April 1983
dan pada bulan berikutnya atas bantuan Pimpinan SMPK Motoling diadakan
testing bagi calon-calon murid kelas satu SMPK Tondei. Atas usul ketua
jemaat GMIM maka kepala Dianas Pendidikan Persekolahan GMIM mengangkat
melalui surat-surat keputusan saudara-saudara
• Joppy Sondakh sebagai kepala SMP Kristen Tondei
• Herdy Bella, BA sebagai guru pembantu
• Djery Tuuk sebagai guru pembantu
Pada
tanggal 18 Juli 1983 gedung SMPK ditahbis dalam suatu ibadat jemaat
dipimpin oleh ketua sinode GMIM diwakili oleh wakil sekum sinode dasn
pada hari tiu juga berdirinya smp Kristen tondei dresmikan oleh bapak
kakandep dik bud kecamatan motoling bapak H.F. Sondakh. Siswa-siswi SMPK
yang pertama berjumlah 23 orang. Gaji guru-guru bahkan seluruh
pembiayaan SMP ini ditanggung oleh jemaat GMIM. Pada bulan Oktober 1983
jemaat GMIM mulai membangun lagi dua bilik tambahan,satu bilik untuk
kantor dan satu bilik untuk perpustakaan SMPK Tondei. Jadi gedung SMPK
Tondei sekarang memiliki lima ruangan dengan perincian, tiga ruangan
belajar, satu ruang untuk kantor sekolah, dasn satu ruang untuk
perpustakaan.
Pada akhir bulan Desember 1983 kedua bilik itu sudash
selesai. Besarnya gedung menjadi 35x7 m bentuk permanent. Pembangunan
gedung SMPK Tondei sudah menelan biaya sebesar ± 11 juta rupiah, swadaya
murni jemaat GMIM Tondei. Hingga sekarang sekoklah berjalan dengan
baik, jumlah guru 7 orang dan jumlah siswa yang terdaftar 31 orang
diantaranya ada beberapa siswa dari jemaat Pantekosta.
Pada HUT SMPK
Tondei yang pertama tanggal 18 Juli 1984 seorang guru pegawai Negeri
ditempatkan pada SMPK Tondei. Pada tahun-tahun berikutnya ditempatkan
pula beberapa Pegawai Negeri, sehingga pada tahun 1987 jumlah guru
Pegawai Negeri menjadi 6 orang.
Karena jemaat GMIM Tondei sebagai
pengasuh SMPK Tondei dan guru SMPK Tondei dapat memenuhi beberapa
persyaratan, maka pada tanggal 22 Desember 1987 SMPK Tondei diakreditasi
menjadi sekolah yang statusnya “ diakui” .
Pada tahun 1988 SMPK Tondei sudah dapt melaksanakan EBTA/EBTANAS sendiri.
Demikianlah
adanya sekolah-sekolah yang dikelolah oleh jemaat GMIM Tondei dewasa
ini. Sekolah yang tertua di desa ini ilah SD GMIM yang diresmikan
berdirinya pada tanggal 25 November 1913. dalam usianya yang sudah 70
tahun, sekolah itu sudah dipimpin berturu-turut olehy kepala sekolah:
1. K. Palapa (..-1913) status sekolah; swasta penu asuhan jemaat Kristen Protestan setempat.
2. J. Salangka ( 1913-1918) status: swasta bersubsidi asuahan: NZG
3. G. Kumolontang ( 1918-1920)
4. K.H. Sahensolar (1920-1925)
5. I.D.U. Rawung (1925-1946)
6. H. Limpele (1946-1950)
7. I.D.U. Rawung (1950-1953)
8. H. Limpele (1953-1954)
9. tak ada kepala sekolah (1954-1955)
10. C. Bujung (1955-1960)
11. C. Bujung (1960-1961) dalam pengungsian di Raanan Baru pada masa pergolakkan permersta
12. C. Bujung (1961-1978) pada akhir 1961 sd GMI tondei dikembalikan ke Tondei.
13. Ny. A.J. Bujung-Moningka (1978-sekarang)
TAMAN KANAK-KANAK GPDI “HANA”
Jemaat
GPdI telah membangun sebua gedung TK pada tahun 1978. sejak berdirinya
TK itu telah dipimpin oelh guru-guru yang ditunjuk oleh jemaat setempat.
Kini TK tersebut telah mendapat dua orang guru dengan SK pemerintah.
SEKOLAH DASAR GPDI
Pada
masa gembala Petrus Wowor memimpin Jemaat GPdI Tondei, didirikanlah
sebuah gedung sekolah darurat untuk anak-anak jemaat Pantekosta yang
mula-mula diberi nama “ SD DIKRISPA” dan kemudian hari disebut SDGP.
Pada tanggal 12 Februari 1968 sekolah itu dibuka. Pada tanggal itu ± 100
orang murid SD GMIM yang berasal dari jemaat Pantekosta meninggalkan SD
GMIM dan menjadi murid-murid pertama dari SDGP yang baru didirikan itu.
Karena sekolah itu berstatus swasta penuh, maka pengadaan perlengkapan,
pengangkatan maupun pembanyaran gaji guru-guru ditanggun oleh jemaat
itu sendiri. Dua tahun lamanya jemaat membiayai sekolah itu. Sebagai
kepala sekolah SDGP diangkat oleh jemaat Pantekosta saudara N. Pangaila.
Nantu pada tahun 1970 ditempatkan di SDGP seorang guru pemerintah
sebagai kepala sekolah yakni Almarhum E. Onibala.
Pada mulanya SDGP
mempergunakan gedung darurat yang didirkan disamping kanan gedung
gereja. Pada tahun 1960 dimulailah pembangunan gedung sekolah diatas
sebuah kintal yang disediakan jemaat sebagai kintal sekolah. Gedung itu
selesai dibangun pada tahun 1973. pada tanggal 7 November 1973 dalam
suatu acaragedung itu diresmikan oleh bupati KDM Tkt II Minahasa Bupati
Lumentut (F. Lumentut, Penulis)
Berturut-turut SDGP sudah dipimpin oleh kepala-kepala sekolah:
1. N. Pangaila (1968-1970) guru yang diangkat oleh jemaat.
2. E. Onibala (1970-1980) guru pegawai negeri
3. J. Palapa (1980-1982)
4. H. Paat (1982-1984)
5. Ny, S, Lumenta-R (1985-1987)
6. Punuh (1987-…)
7. D. Umboh (1987-sekarang)
SD INPRES
Gedung
SD Inpres dibangun pada permulaan tahun 1982. pada tanggal 28 Juli 1982
SD Impres itu dibuka dengan resmi oleh Kakandep Dik Bud kecamatan
Motoling, Bapak H.F. Sondakh. SD itu mulai dengan kelas 1. kepala
sekolah: J. Palapa dengan guru pembantu 3 orang.
Banyak murid di tiap sekolah:
1. SD GMIM 225 orang
2. TK GMIM Dorkas Tabita 30 orang
3. SMP Kristen GMIM 140 orang
4. SDGP 146 orang
5. TK GPdI Hana
6. SD INpres 122 orang
Pendidikan di Tondei mengalami kemajuan dari waktu ke waktu
Kepala-kepala sekolah:
1. SD GMIM
1) Israel D. Umboh Rawung
2) Hanes Limpele
3) Cyrus Bujung
4) Adolfin Moningka
5) Hans S.K. Limpele, S.Pd
6) Jetje J. Timporok, S.Pd
2. SD GPdI
1) Bernard pangaila
2) Eli Onibala
3) Stince Rindorindo
4) San Ong Pangaila
5) Ireine Waladow
3. Kepala SD INPRES Tondei
1) Johny M. Palapa
2) M. Sumarap
3) Stela Ratna warouw
4. SMP KRISTEN 19 Tondei
1) Jopi W. Sondakh PEJABAT KEPALA SEKOLAH
2) Herdi Bella, BA (pejabat)
3) Rein Paat (Kepala sekolah defintif)
4) Hans. S.K. Limpele, S.Pd (1995-sekarang)
5. SMK Negeri Kelas Jauh Tondei
a. Anes S.Pd
Orang-orang Tondei yang menjadi guru/pegawai:
Hanes Limpele
Israel D. Umboh Rawung
Cyrus Bujung
Adolfin Moningka
H.S.K. Limpele, S.Pd
H.B. Sondakh
Herdy Bella, B.A
Jony Palapa
Iswan Sual, S.S
Johnwane Palapa
C.A.C. Bujung, S.Pd
Harry Rawung, Se
Hanny Limpele. Se
Ineke Sumangkut. S.Pd
Franky Lumapow, Se
Rima Mantik
Decky Bella
Helly Paat
Beny Kewas
Polin Sual
Irma Sual
Frintje Muntu-Untu
Jetje Rawung
Meidi Legi
Olly Legi
Lidia Legi
Moses Legi
Admi Sumangkut
Indra Kawengian
Sintia Lumapow
Siske L. Langi
Noly Sumangkut
Tetty Kordak
Stintje Oping
Jetje Timporok
Cao Sengkey
Meike Tumanduk
Novke Sumangkut
Betty Kawengian
Eveline Awengian
Sherly Tamba
Olviane Bella
Netin Sondakh
Ireine Waladow
Stintje Oping
Jonny Sumangkut
Nikson Onibala
Refli Tamba
Netje Bella
Hence Sondakh
Ani Palapa
Riko Sumangkut
Jopi W. Sondakh
Gustaf F. Tamaka
San Ong Pangaila
Manuel Sual
Ona Ngion
Deitje Sumangkut
Herry Lumowa
Hengky Legi
Deitje Legi
Men Sondakh
Elsye Bella
Djerri Tuuk
Deli Tompodung
Ronny Wagey
Naomi Lampus
Bernard Pangaila
Frists Sumanti
Marthen Saumana
J.L. Tengor
Simon Petrus Kolanus
Meity Karu
Meity Giroth
Johanes Kumayas (Tete Ani)
Hein Legi
Eveline Kumayas
Tamber Tambaani
Yohanis Onibala
Maria Munaiseche
AGAMA DAN KEPERCAYAAN/RELIGI
Sebelum Masuknya Kekristenan
Opo
yang dipercaya oleh orang Tondei: Opo Toar Lumimuut, Opo Lolombulan,
Opo Sininsayang, Opo batu Binangkan, dan opo orang-orang tua yang
diyakini seperti Opo Sual, Opo Muntu-untu dan Opo Wongkar. Setelah
dengan keyakinan alifuru oleh Penolong yang berada di Motoling membawa
injil ke Tondei mengakibatkan penduduk Tondei mulai menyadari bahwa
keyakinan atau kepercayaan kepada opo-opo tidak begitu menjamin
keselamatan baik tubuh maupun roh manusia.
Keyakinan sebelum ada
kekristenan adalah animisme/alifuru. Percaya burung manguni sebagai
tanda. Seperti manguni makasiow. Bunyi burung manguni makasiow
menandakan bahwa masyarakat memperoleh berkat atau dalam keadaan aman.
Bunyi manguni satu kali keras manandakan bahaya. Bunyi manguni yang agak
lemah menandakan kematian.
Mawaru ni obat?
Bagi yang mempunyai
kepercayaan opo-opo/hobatan, setiap bulan mengadakan suatu upacara dalam
istilah bahasa Tontemboan: meru ‘I nubat’ artinya mengadakan upacara
pembaharuan atau pembersihan obat yang kemungkinan akan menjadi jahat
atau rusak. Upacara tersebut diadakan pada bulan purnama setiap bulan.
Dengan dihadiri oleh penderita-penderita penyakit bersama dengan mereka
itu yang berkaitan memegang pegangan atau opo-opo. Dalam upacara
tersebut orang-orang yang mengidap penyakit diobati oleh tonaas atau
orang yang menjadi pusat memegang opo-opo atau hobatan. Dan orang-orang
yang diobati menjadi sembuh dari penyakitnya. Terkecuali oleh
pencipta/Tuhan Allah sudah mengkodratkan untuk meninggal. Dan sering
pemegang atau pusat pemegang opo-opo tersebut dalam kemasyarakatan
sering dianggap oleh masyarakat adalah yang disanjung atau dihormati
sebagai penolong setiap orang atau masyarakat merasa diobati.
Dalam
masyarakat Tondei dikenal dua macam pegangan atau wentel/bentel
(jimat): baik dan jahat. Yang baik disebut wentel lo’or. Sedangkan yang
tidak baik disebut wentel ca lo’or. Orangnya disebut sebagai
ma’diara/ma’riara.
Sebelum kekristenan melekat dan tertanam dalam
masyarakt Tondei, dulu orang banyak mengandalkan wentel untuk
mempertahankan hidup dalam peperangan, keberuntungan, perdagangan,
penyakit.
Pada waktu perang orang-orang memerlukan wentel supaya
mereka memperoleh kekebalan tak tembus oleh peluru atau terbunuh oleh
musuh atau orang jahat.
Nama-nama dukun yang dikenal di Tondei:
Hero Timporok
Beliau
dikenal banyak membantu meyembuhkan orang sakit. Dan bantuan yang
paling menyolok yang senantiasa diingat orang terjadi ketika masa
pergolakan atau perang permesta. Banyak tentara dari dalam dan luar
Tondei yang meminta beliau supaya memberikan “pegangan” atau jimat
sebagai pelindung diri supaya tidak mati konyol dalam perang atau
serangan orang jahat.
Konon orang yang datang kepadanya diberikan
jimat dalam bentuk benda-benda tertentu seperti kain merah dan hitam
yang diikatkan di lengan, kepala dan perut. Hal ini diikuti dengan
“mandi kabal” atau suatu proses dimana dia membuat supaya orangnya tidak
bisa dipotong atau ditusuk. Dia akan enjadi kebal. Setelah upacara
selesai, biasaya diikuti dengan ujian atau tes kekebalan. Si Hero akan
memberikan instruksi supaya orang yang sudah diberi jimat tersebut tidak
menoleh lagi ke belakang. Sebelum keluar orang yang diberi jimat akan
dipukul atau diserang dengan senjata tajam.
Konon, Hero meninggal
dengan tenang. Tidak karena sakit. Dia bahkan sudah tahu dia akan
meninggal. Dia meninggal pada saat dia tidur. Sebelum dia meninggal dia
berpesan supaya jangan seorangpun dari anak-anaknya mengambil
jimat-jimat yang dia tinggalkan. Termasuk gelang yang disebut Kama
Silang. Menurut salah seorang informan yang juga adalah murid dari si
Hero bahwa Kama Silang bisa terlepas dari tangan dengan sendirinya. Dan
jika sudah terlepas berarti ada pesan dan peringatan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Tapi, ada satu orang yang tidak mengindahan pesan dari
SETELAH MASUKNYA KEKRISTENAN
Penolong
yang datang mengabarkan injil mengangkat atau menunjuk satu orang atau
lebih pembantu penelong untuk datang mengajarkan injil kepada anggota
masyarakat sebagai jemaat agar memudahkan penelong dalam mengunjungi
jemaat di kampung-kampung. Dengan maksud tersebut maka yang diangkat
atau ditunjuk oleh penelong membantu pekabaran injil di Tondei dinamakan
guru jemaat. Dan di Tondei waktu itu masih berdiri satu golongan agama
yaitu kristen Protestan sampai dengan tahun 1929. Kemudian akhir tahun
tersebut, masihlah satu agama Kristen protestan Pinkster yang dibawa
oleh pendeta Jan Lumenta. Dan sekarang Pinkster itu sudah menjadi GpdI.
Kemudian tahun 1999 masuk lagi satu agama Roma Katolik di Tondei yang
diketuai oleh G.F. Tamaka. Tahun 2006 GMIM IMANUEL Tondei memekarkan
satu jemaat yaitu Jemaat GMIM Bukit Moria Tondei Satu.
Sepanjang
penuturan perintis-perintis pembangunan desa Tondei bersama rombongannya
yang merupakan penduduk mula-mula desa ini sudah memeluk agama Kristen.
Tetapi mereka belum melepaskan sama sekali kebiasaan-kebiasaan kafir.
Hal ini nyata pada pembukaan desa Tondei. Mereka masih memerluhkan
isyarat baik dari burung manguni untuk menentukan tempat desa yang baik.
Tetapi lama-kelamaan kebiasaan-kebiasaan kafir itu mulai ditinggalkan
akibar kegiatan pekabaran Injil olehy pelayan-pelayan gereja yang setia
dan berani.
Di tondei hingga hari ini sudah terdapat 5 golongan gereja:
1. GMIM (GEREJA MASEHI INJILI DI MINAHASA)
2. GPDI (GEREJA PANTEKOSTAS DI INDONESIA)
3. KGBI (KERAPATAN GEREJA BAPTIS INDONESIA)
4. RK(TOMA KATOLIK
5. GPSDI (GEREJA PANTEKOSTA SERIKAT DI INDONESIA)
SEJARAH PERKEMBANGAN GMIM
Sejak
berdirinya desa Tondei (1908) hingga pada tahun 1929 di Tondei hanya da
satu golongan gereja saja, yakni Gereja Protestan “Indische Kerk”.
Pada
tahun 1934 tanggal 30 September 1934) GMIM memisahkan diri dari
Indische Kerk dan memproklamasikan dirinya sebagai Gereja yang berdiri
sendiri. Jemaat Kristen Protestan Tondei mulailah disebut GMIM. Keadaan
jemaat pada pembukaan Desa Tondei (1908) ± 40 kepala keluarta
1950 ± 180 kepala keluarga
1954 ± 200 kepala keluarga
1981 ± 330 kepala keluarga
1985 ± 353 KK dan ± 1700 jiwa=11 kolom
Berturut-turut jemaat GMIM telah dipimpin oleh pelayan-pelayan:
• K. Palapa, guru sekkolah dan guru jemaat (1908-1913)
• J.S. Salangka kepala SD dan guru Jemaat (1913-1918)
• G. Kumolontang, kepala SD dan guru jemaat (1918-1920)
• K. Sahensolar, kepala SD dan guru jemaat (1920-1925)
• I.D.U. Rawung kepala SD dan guru jemaat (1925-1930)
Tempat ibadah jemaat Gmim
Jemaat
GMIM mulai membangun gedung gereja pada tahun 1976 dengan swadaya murni
jemaat. Besarnya bangunan adalah 23x10 m, permanent dan sudah menelan
biaya ± Rp 40.000.000. gedung itu selesai dibangun pada tahun 1979 dan
ditahbiskan dalam suatu ibadah jemaat yang dipimpin oleh ketua sinode
GMIM pada 24 Agustu 1980.sebelumnya gedung itu sudah diresmikan oleh
Bupati KDH II Minahasa pada tanggal 13 Desember 1979.
Tempat ibadah jemaat GPdI
Gedung
gereja jemaat GPdI selesai dibangun pada akhir tahun 1983. ukuran 24x12
m bentuk permanent dan telah menelan biaya kurang lebih 50 juta rupiah.
Gedung itu udah ditahbiskan dalam suatu ibadah jemaat dengan dihadiri
oleh gubernur dati I Sulawesi Utara.
Tempat ibadah jemaat RK
Gedund gereja umat katolik bentuk permanent masiy sementara dibangun tetapi sudah dapat digunakan untuk beribadah.
Tempat ibadah jemaat KGBI
Jemaat kgbi sudang membangun gedung gerjanya bentuk semi permanent dan sudah dapat dipergunakan untuk acara ibadah jemaat.
KESENIAN
Bagaimana dengan kesenian? Tarian? Lagu daerah ciptaan orang tondei?
Kumpulan-kumpulan
kesenian di desa ini hanya aterdri dari kaum Ibu, Pemuda, dan Bapa
GMIM. Demikiran juga dari jemaat GpdI. Juga ada grup vocal pemuda GMIM
dan Pantekosta.
Dulu di sekolah berkembang kesenian maengket di sekolah. Ada juga poco-poco dan sekarang ini caka-caka.
TRADISI/ADA ISTIADAT
Orang-orang
tua dulu kurang memperhatikan penanggalan,. Misalnya tentang kelahiran
anak. Bila seroang anak lahir, maka saat kelahiran itu selalu
dihubungkan dengan sesuatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu agar
tidak mudah dilupakan. Jika ditanya tanggal berapa anak lahir , maka
jawaban yang diperoleyh, bukan tanggal berapa anank lahir,maka kawaban
yang diperoleh, bukan tanggal atau bulan yang tepat. Oang akan menjawab
bahwa kelahiran anaknya bertepatan dengan perombakan hutan di suatu
tempat atau bertepatan dengan kunjungan seorang pembesar di desa itu
atau dengan ditanamnya sesuatu pohon. Dengan demikian penentuan umur
orang-orang dahulu hanya berdasarkan perkiraan belaka.
Tentang perkawinan
Perkawinan di tondei dari dahulu hingga sekarang terjadi sebagai berikut:
1. muey (melamar)
si
teruna mengirim surat pada si gadis pilihannya tentang cintanya pada
gadis itu atau menyampaikannya secara lisan. Jika ia malu berhadapan
langsung atau tidak tahu menulis, dipakainya seorang pengantara. Jika
lamaran tiu diterima, maka terciptalah suau hubungan percintaan antara
keduanya.
2. tumindondor-moweh (berdiri berhadapan langsung dengan orang tua gadis dan memberitahukan hal percintaan mereka)
siteruna
baik langsung atau melalui seorang pengantara melapor kepada orang tua
si gadis hal perhubungan cinta antara si teruna tersebut dengan si
gadis. Bila hubungan itu direstui oleh kedua orang tua si teruna dan si
gadis maka menyusul hal yang berikut
3. tumantu, tumerang (menentukan atau memohon penjelasan selanjutnya)
orang
tua si teruna langsung atau melalui seorang pengantara membicarakan
dengan orang tua si gadis tentang kelangsungan hubungan kedua anak
mereka, tentang mas kawin dll yang brhubungan dengan pernikahan anak
mereka. Bila telah ada persesuaian dalam segala hal, maka menyusul pula
hal beriktu
4. tumuruk (antar harta/peminangan)
orang tua pihak
teruna dengan kaum keluargannya berangkat ke rumah orang tua gadis. Di
rumah si gadis juga sudah menanti seluruh keluarga orang tua si gadis.
Terjadilah percakapan melalui wakil mereka menyerahkan “harta kawin”
ekpada orang tua si gadis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati waktu “tumerang” maka resmilah pertunangan mereka. Acara
tukar cincin dapat dilaksanakan bila pihak teruna menyediakannya.
5. sumampet (rencana atau cita-cita tercapai)
menyusullah
pernikahan melalui petugas gereja atau petugas pemerintah. Kebiasaannya
pihak orang tua gadislah yang pertama-tama mengadakan pesta nikah..
kemudian pihak orang tua teruna mengadakan pula pesta pernikahan. Pada
kesempatan itulah mempelai wanita diantara ke rumah mempelai pria
disertai oleh seluruh keluarga kedua belah pihak. Dalam cara pesta
pernikahan biasanya disuguhkan pidato-pidato nasihat kepada kedua
mempelai sebagai bekal hidup berumah tangga.
Dengan “sumampet” maka
tercapailah cita-cita si terurna dan si gadis untuk hidup bersama-sama
sebbagai suami istri. Sesudah menikah mereka dapat memilih 1) tinggal
dalam rumah sendiri-lepas dari tanggungan orang rua. 2) tinggal di rumah
orang tua laki-laki atau perempuan sebelum mereka dapat mendirikan
rumah sendiri.
Di Tondei orang berpandangan, bahwa si suami adalah
kepala rumah tangga dan si istri afalah bendahara rumah tangga.
Pernikahan terjadi atas dasar suka sama suka. Tak ada kawin paksa.
PERISTIWA KEMATIAN
Pada
peristiwa-peristiwa kematina kerukunana nampak menonjol. Keluarga yang
berduka cita mendapat bantuan bahan makanan, uang dan sebagainya dari
masyarakat. Hal ini dipelopori pemerintah desa dan pimpinan gereja. Pada
hari minggu pertama sesudash peristiwa kedukaan, semua anggota
masyarakat berkupul di rumah keluarga yang berduka untuk makan siang
bersama-sama dalam rangka menghibur kelaurga yang berduka. Semua yang
datang membawa makanan sendiri. Hal ini dimaksudkan agar yang berduka
cita tidak lebih diberatkan bebanya dengan menyediakan makanan bagi
mereka yang datang berkumpul di rumahnya.
Kini di Tondei telah
dibentuk puluhan “rukun” yang bertujuan memberi bantuan baik berupa
uang tau beras dan sebagainya. Pada anggota ang mengalami peristiwa
kedukaan. Juga da rukun jaga yang dikendalikan oleh kepada jaga dan
mewetang.
Suatu kebiasaan dahulu yang bisasa dilakukan ialah perayaan
tiga malam semua anggota keluarga atau sebahagian dari masyarakat
berkumpul di rumah keluarga yang berduka untuk makan bersama-sama. Acara
ini diadakan berdasarkan kepercayaan bahwa pada malam ketiga jiwa dari
si mati bangkit dari kubur dan mulai beredar-edar mengunjungi
keluargannya di semua tempat yang pernah dikunjungingya semasa hidupnya.
Beralas pada kepercayaan itu maka kelauarga yang berduka pada waktu
maka atay mium meletakkan di ujung meja sebuah piring kecil bverisi nasi
sedikit ikan atau telur untuk “dimakan” oleh jiwa dari yang baru
meninggal. Bila jiwa itu datang berkunjung, hal ini disebut “ma’umper
atau ma’belet”. Inii dilakukan selama 40 hari, 40 malam lamanya.
Kadang-kadang pada peringatan tiga malam diundang juga seorang dukun
dengan maksud akan mendengarkan pesan-pesan orang yang baru meninggal.
Dukun itu disurupi roh orang mati sehingga tidak sadarkan diri lagi.
Mulailah ia berkata-kata meyampaikan pesan-pesan kepada keluarganya.
Suara sama benar dengan suara orang mati itu, semasa ia masih hidup.
40
harikemudian dasri kematian seseorang diadakan pula peringatan 40 malam
berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa orang meninggal itu akan
meninggalkan dunia ini menuju tempat yang disediakan baginya. Jiwa orang
yang semasa hidupnya hahat akan panda ke gua-gua, ke batu batu besa ke
mata air dan tau ke pohon-pohon besar sebagi roh jahat atau hantu.
Kerjanya mengganggu dan mencelakakan orang yang melintasi tempat mereka
yang angker itu. Jiwa orang yang semasa hidupnya selalu berbuat baik
meninggalkan dunia ini pindah kalam “ka-ka-puan atau karawisan” tempat
“samak” yang disediakan untuk mereka. Lama-kelamaan kaerna pengaruh
agama Kristen dan berkat pelayanan injil yang mantap peringatan tiga
malam dan 40 malam berangsur lenyap.
Upacara adat lainnya seperti
kedukacitaan. Bilamana ada yang meninggal dunia maka dianggap roh dari
orang mati belum langsung naik ke surga. Oleh karena itu setiap ada
kedukacitaan, maka di rumah duka bagian dalam kamar di lantai ditaburkan
bahan berupa tepung. Karena menurut kepercayaan budaya waktu itu bahwa
orang yang sudah meninggal itu sering datang dan bukti kedatangannya
diamati oleh keluarganya melalui bekas kaki di lantai yang tertabur
tepung. Upacara kedukacitaan dipimpin oleh guru jemaat atau penelong
yang sekarang disebut sebagai pendeta.
MENABUR PADI (kumelod)
Berladang
dilakukan secara alamiah. Tonaas atau kepala perkampuangan menentukan
waktu yang baik untuk merobak hutan dan daerah hutan mana yang akan
dirombak untuk diperkebuni. Hal ini dilakukan di musim panas jadi
sekirtar bulan juli dan agustus. Petani-petani membntuk Ma’ando atau
mapalu. Bila komando telah diberikan, menyerbulah mapalus-mapalu ke
lokasi yang telah ditunjukkan oleh Tonaas atau Hukum Tua. Kay-kayu
ditebang, rumput-rumput dipangkas dan stelah kering dibakar. Karena hal
ini dilaksanakan pada musim panas, maka hampir semua kayu yang ditebang
dan rumput-rumput terbakar, tinggal abu-abusnya. Maka tibalah saatnya
menabur,. Menabus padi dikerjakan jug adengan bermapalus. Bilah benih
padi telah bertumbuh dan mulai berbuah, maka kebun itu tidak booleh
lasit dilalui oleh orang-orang yang sedasng memikul buluh yang baru
ditebang. Menurut cerita orang-orang tua jika pantangan ini dilanggar
ti8kus-tikus akan menyerbu kebun itu dan merusakan tanaman padi di
dalamnya.
Bila panen tiba, yang empunya kebun mengudnang sanak
saudsra dan handai tulan pemuka masyarakat dan sebahagian penduduk untuk
beramai-ramai menuai padi. Pada peristiwa ini diadakan pesta penuaian
oleh tuan kebun. Sementara menuai diperdengarkanlah nyanyian tua,
kidung-kidung rohani atau wa-oweinya, pada waktu makan diperdengarkanlah
pula pidato-pidato oleh pimpinan desa dan gereja, bila mereka diundang
pada penuaian itu. Pessta itu dilakukan di tempat penuaian,
kadang-kadang sesudah menuai, masih ada keluarga ang mengakan peseta “
makan pada baru” atau kuman im beru”. Bila penuaian sudah berlalu, maka
pada pertengahan tahun orang mengadakan “ pengucapan syukur penuaian”
atau “syukur pungutan”.
PENGHORMATAN APO-APO
Apabila orang
membicarakan nenek moyangnya, mereka menyebutnya dengan sapaan “apo”.
Lain pula pengertiannya kalau mereka menyebut opo-opo yang lebih murni
artinya dewa-dea. Masih terselip kepercayaan pada sebahagian masyarakat
tentang adfanya opo-opo yang berdiam di tempat tertentu. Orang harus
belaku sopan dan harus berdehem bila melewati kuala, mata air, gua-gua.
Kubur-kubur, dan tempat-tempat sunyi yang dianggap sebai tempat tinggal
opo-opo. “berdehem” dapati diartikan sebagai permisi dan minta jalan
untuk melewati tempat itu.
TANDA-TANDA BUNYI BINATANG
Bunyi
burung manguni atau wala, belalang, cicak, dan kokosit dianggap sebagai
tanda pemberitahuan dari opo-opo tentang adanya bahaya yang mengancam
atau kemujuran yang sedang mendatang.
Bunyi kucing yang sedang
bercumbu-cumbuan dengan “kekasihnya” yang kedengaran sebagai menangis
dianggap sebagai pemberitahuan dari opo-opo, bahwa salah seorag kerabat
akan mati dalam waktu dekat. Suara buru kerok melewati kampung juga
adalah tanda. Bila terjadi hujan panas juga menandakan yang demikian
juga. Kupu-kupu indah datang ke rumah dianggap akan ada tamu. Anjing
munta-munta sebarangan di rumah. Mata berkedip akan menangis. Tangan
terasa gatal. Perasaan tak enak. Memaki topi saat makan. Jongkok di
depan rumah. Duduk di atas pagar. Kata-kata kotor (sembot, puki, pendo,
lawut, peret akhir-akhir ini, cuki, warut, pemai, babi, anjing, yakis,
penuadang, nga’as pelah.
Bila orang bersin pada saat seorang akan
membuat perjalanana atau memulaikan suatu usaha, ia harus mengurungkan
waktunya. Burung, kucing meneybrang jalan.sebab jika tak demikian, ia
akan menemui kegagalan atau sesuatu marabahaya.
Berkat penginjilan
yang bersungguh-sunggu dari para pelayan gereja maka penghormatan pada
opo-opo dan kepercayaan pada tanda-tanda bunyi binatang berangsur-angsur
lenyap.
UPACARA-UPACARA ADAT
Upacara adapt tidak ada yang
menonjol. Pelantikan Hukum TUa yang terpilih dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan pemerintah. Penyammbutan tamu agungpun
dilaksanakan seperti kebiasaan pada umumnya, yakni dijemput di ujung
kampung, pengalungan bunga dan sebagainya.
KEPURBAKALAAN
Kira-kira
50 m sebelah selatan desa Tondei Dua dekat mata air terdapat sebuah
lesung batu yang besar. Dasarnya tertanam jauh dalam tanah. Tingginya ± 1
setengah mm. pada dindinga luar lesung it terukur pria dan wanita yang
sedang menari. Menurut cerita orang tua-tua, benda itu merupakan benda
purba peninggaln orang-orang yang pernah bermukin di daeran itu di masa
lalu. Di daerah dimana terdapat lesung batu itu disebut orang “Lutau”.
Lutau artinya “tembak” pemberian nama ini punya sejarahnya sendiri.
Menurut cerita, pada suatu hari di siang bolong tiba-tiba penghuni
daerah itu dikejutkan oelh bunyi guruh yang dahsyat bagaikan
beratus-ratus meriam ditembakkan pada saat yang sama. Bumi berguncang
dan orang-orang ketakutan. Bunyi yang hebat itu dastangnya dari daerah
lesung batu.. mulai saat itu daera itu desebut orang “lutau”.
CERITA RAKYAT
Peristiwa upacara pembentukan desa Tondei dengan “Sumering” cerita
Mawalw, lesung batu dan lutau dapat juga disebut sebagai cerita rakyat
dari Tondei. Mungkin masih ada, tetai krean tidak dibukukan atau tidak
dituturkan dari mulut ke mulut, akhirnya dilupakan orang.
KEPARIWISATAAN
Tempat-tempat
hiburan tau rekreasi dan sebagainya masa ini belum ada di Tondei.
Tetapi boa daerah “lutau” dimana terdapat tempat lesung batu peninggalan
purba itu dipugar, kiranya nanti dapat memikat wisatawan-wisatawati
luar dan dalam negeri. Dan inipun dapat dimungkinkan bila jalan Motoling
ke Tondei diperbaiki dan diberi aspal seluruhnya.
INDUSTRI
Tondei
merupakan satu desa penghasil kopra nomor satu di kecamatan Motoling.
Hasil cengkihnyapun menanjak pada tiap-tiap musim pemetikan. Maka besa
kemungkinan pada waktu mendatang, suatu perusahaan minyak kelapa atau
cengkih akan terdapat di desa ini.
Di Tondei berkembang industri
rumah tangga seperti pembuatan gerobak (roda sapi) yang ditarik oleh
lembuh-yance sondakh, demer sendakh, fence merentek, medi ondang.
Umumnya adalah tukang. Idustri pembubutan diusahakan oleh ebi
muntu-untu. Mesin dalam pertukangan telah banyak mengalami perkembangan.
PERMAINAN RAKYAT
Permainan rakyat yang masih bertahan hingga sekanr ilah yang disebut “Mareng-i-le-le” yang artinya kembalikan pukulan lidi.
Acara
ini dilaksanakan oleh suatu tumpukan mapalus (ma’andor) yang dikepalai
oleh seorang pemimpin yang disebut “ma’bali-wali” atau “ke-me-ter” yang
didampingi oleh seorang “ merantong” atau “madantong” yang artinya
sebagai “hakim” mapalu atau secara kasar disebut “tukang pukul”. Mapalus
mempunyai peraturan-peraturan atau undang-undang mapalus yang harus
ditaati oleh semua nggora. Jika peraturan itu dilanggar, maka si
pelanggai itu diancam dengan hukuman badan. Yakni mendapat cambukan
sesuai jenis pelanggaran yang dibuat. Alat cambuk terdiri dari seberkas
lidi enau. Tiga atau enam lidi diikat menjadi seberkas. Pelaksana hokum
atau “algojo” adalah marantong sendiri. Bersam dengan mba’bali-wali ia
menentukan berapa cambukan yang harus diberikan pada si pelanggar. Dalam
peraturan atau hokum mapalus itu ditentukan misalnya
1. absent tanpa memberitahu pada ma’baliwali dicambuk 9 kali
2. terlambat tiba di tempat pekerjaan 6 kali
3. bekerja lamban 2 kali
4. mengucapkan kata-kata tak sopan 5 kali
5. bagi koki terlambat menyediakan 3 kali
6. tidak membantu kawan yang lemah dalam barisan kerja 1 kali
7. tidak turut atau bermain sementara dalam berdoa makan 6 kali
sasaran
cambukan adalah betis atau bagian belakang badan. Cara memilih
ma’baliwali dan marantong kebanyak secara aklamasi. Tugas ma’baliwali
adalah memimpin dan menjalankan roda organisasi mapalus itu. Ia adalah
penaggungjawab ke dalam dan ke luar. Sebelum mapalus memulaikan tugasnya
si marantong, hakim mapalus, harus dinobatkan lebih dahulu. Cara
menobatkannya: si marantong berdiri di tengah lingkaran Mapalus. Cambuk
yang terdiri dari enam batang lidi enau telah tersedia. Setelah sebuah
pidato singkat diperdengarkan ma’baliwali memegang cambuk lalu
memukulkannya 3 kali berturut-turut ke betis marantong. Kemudian tibalah
giliran seluruh anggota mapalus. Secara bergilir mereka mencambuk betis
marantong seberapa mereka mau. Selesai acara ini celana si marantong
koyak-koyyak, betisnya berdarah dan bengkak. Penobatan secara ini
dimaksudkan aga ia dalam menjalankan tugasnya akan bertindak tegas dan
tanpa memilih bulu. Dengan cangkul dan cambuk di tangan dan sambil
bekerja ia mengawasi seluruh mapalus itu dan sewaktu-waktu
membagi-bagikan cambuk kepada mereka yang melanggar disiplin mapalus.
Demikian kerjanya hingga seluruh anggota mapalus telah mendapat
sumbangan tenaga mapalus itu. Sebelum mapalus dibubarkan maka
diadakanlah suatu acara yang merupakan acara penutup kegiatan organisasi
mapalus itu. Maka ditentukanlah suatu hari apda waktu mana cara itu
akan diadakan. Semua anggota menyediakan penganan dan air panas the atau
kopi, untuk melayani mereka yang akan diundang menghadiri acara itu.
Ditentukan
pula di lokasi mana acara penutup ini diadakan. Daerah yang banyak kali
dipakai ilah kampung liba. Sebab jalannya lebar dan rata. Banyak kali
dalam acara ini diundang pimpinan jemaat dan kepala desa. Berduyun-duyun
orang menuju ke lokasi yang sudah ditentukan. Semua ingin menyaksikan
permainan ini. Anggota-anggota mapalus berbaris berhdapan. Berdiri di
tepi-tepi jalan. Kebanyakkan anggota mapalus pria membungkus betisnya
dengan kain tebal. Demikian pula si marantong. Semua anggota mapalus,
baik pria maupun wanita memegang seberkas lidi enau. Sebelum cara
dimulai ma’baliwali (pemimpin) mengumumkan aturan permainan. Si
marantong harus berlari bolak balik dari ujum barisan ke uung barisan
yang lain. Tiap kali ia meliwati anggota mapalus yang berdiri dalam
barisan, ia menreima cambukan dari kiri dan kanannya sebaba iba
menghindari cambukan dengan berlari cepat. Cvambukan-cambukan yang
diberikan padanya disebut “mareng I lele” (kembalikan lidi) maksudnya,
kalau pada waktu mapalus si marantong banyak memberik cambukan kepada
anggota-anggotanya, sekarang pukulan-pukulan itu dikembalikan kepadanya.
Permaianan mareng I lele betujuan menghilangkan rasa dendam ia harus
berlari hilir mudik higga semua berkas lidi yang dicambukkan kepadanya
rusak atau musnah semuanya. Oleh karena betisnya dibungkus dengan kain
tebal maka cambukan-cambukan itu tidak sampai melukakan. Sesudah
marantong menerima bagianya tibala giliran anggota-anggota saling
bercambukan.
Permainan ini ditutup dengan makan minum bersama yang
disediakan oleh tiap-tiap anggota mapalus itu. Sekarang jenis permainan
ini sudah jarang dilaksanakan orang. Jenis permainan inilain seperti
bola kaki, bulu tangkis dan sebagainya juga sangat digemari.
Ada yang
lain seperti benteng, benteng kayu, kum-kum, kalia, kuda kayu. Neka.
Batu di lubang. Oto bola sonong/palapa, skiping. Pelinggir, lulutau,
kasti,
Artefak
Malesung adalah sesuatu benda peninggalan
purbakala. Menurut Sual, sebenarnya batu itu bukan di tempat dimana dia
berdiri sekarang. Kurang lebih dari 200 dari tempat sebenarnya.
Berbentuk seperti lesung. Sekitar 1940 terjadi suatu ledakan yang dasyat
di daerah dimana batu lesung tersebut, lalu orang-orang tua yang
bermukim di desa mengecek langsung tempat sumber ledakan itu. Setelah
dicek, telah terguling sejauh kurang lebih 200m tempatnya semula. Mulai
saat peristiwa ledakan yang terdengar itu, orang-orang tua di Tondei
menamakan daerah tersebut bernama Lutau. Lutau artinya karena bunyi
ledakan yang dasyat itu sehingga lesung seolah-olah ditembakan sehingga
lesung itu terlempar dari tempatnya kurang lebih 200M. sebenarnya lokasi
itu namanya perkebunan Raanan.
BAHASA DAERAH
Penduduk desa
Tondei kebanyakan berasal dari dari suku Tontemboan. Hanyalah beberapa
yang berasal dari Seretan Tondano. Sekarang ini, akibat perantauan
banyak penduduk yang sudah kawin campur dengan suku sangir, ambon,
toraja, bolaang Mongondow bahkan dengan orang luar negeri seperti Rili
Wongkar dengan orang Jerman, Venda Sual dengan orang Taiwan, Sual dengan
Belanda.
TAMAN-TAMAN
Taman budaya, taman hiburan, taman
bunga dan sebagainya belum ada di desa ini. Daerah Lutaw dimana terdapat
Lesung Batu yang besar sebagai benda peninggalan purba baik sekali
dijadikan taman budaya sebagai objek wisata di kemudian hari.
PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN
Salah
satu usaha pemerintah desa untuk memajukan pertanian ialah membuat
kebun percontohan sebagai proyek Latihan bagi masyarakt petani Tondei.
Kebun itu dibuka pada bulan Juli 1984 di bawah bimbingan tenaga-tenaga
akhli dasri BLPP (Balai Latihan Pegawai Pertanian) Kalasey Manado.
Pemerintah desa Tondei boleh mengirim beberapa orang ke BLPP Kalasey
untuk dilatih dalam mengolah tanah, cara memakai pupuk dan sebagainya.
Selesai latihan mereka kembai ke Tondei untuk membimbing para petani
dengan kebun percontohan sebagai arena latihan. Hasil tanaman kebun
percontohan dapat dijual untuk dana pembangunan desa.
Dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemerintah desa berdaya upaya agar
Proyek Air Minum dapat selesai dalam tahun ini juga. Pipa-pipa dari
berbagai ukuran dibeli di Manado dan sebagainya telah dipasang, sumber
air terletak kurang lebih 1 km di sebelah timur desa. Walaupun baru 60 %
selesai tetapi sebagian rakyat Tondei sudah dapat mempergunakan air
ledeng tersebut.
Demikian proyek-proyek pembangunan yang sedang dihadapi masyarakat Tondei sekarang ini.