Senin, 21 Oktober 2013

TONGGAK SEJARAH: KONGRES BAHASA MANADO I

Selama dua hari (19-20 Oktober 2013) di Tondei Minahasa Selatan para budayawan, seniman, sastrawan, sejarawan,akademisi, jurnalis dan pemerhati bahasa berkongres membahas sejarah perkembangan dan upaya pembinaan serta pelestarian Bahasa dan Sastra Manado.
Akhir pekan itu membuat Balai Pertemuan Umum wanua Tondei Dua kembali menjadi saksi bisu pelaksanaan peristiwa bersejarah. Kala itu orang-orang dari beberapa wanua di Minahasa dan Ternate, Tolitoli, Poso, Nusa Utara, Jawa, bahkan Amerika Serikat menuju selatan Minahasa, wilayah Malesung tertua, untuk secara serius hadir dan bicara tentang satu Bahasa yang dipakai di seantero Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah tersebut. Lembaran edaran umum keluaran panitia menguraikan dalam bahasa Manado bahwa tujuan dari kegiatan tersebut: 1) Motingkatkan/mosenae tu peran deng fungsi bahasa deng sastra Manado yang jabentuk tu watak deng pekerti for forad ato dofoma hidop bamasyarakat, babangsa, deng bawanua; 2) Motanam ulang tu pande makatana (local genius) Manado for generasi muda spaya dorang lebe sopan, pande, deng loor batindak; 3) Moberdayakan bahasa deng sastra Manado for mokembangkan industri kreatif, kususnya lewat dunia batulis; 4) Motingkatkan tu peran pihak yang tagate (stakeholder) for  moola tu pande makatana Manado dalang pangertian hidop global deng multikultur. Sungguh fenomenal!
Dalam sambutannya ketika membuka kongres, ibu Nita Froma Lumapow sebagai Ukung Tua Tondei Satu, mengatakan, “Kita patut berbangga dan bersyukur karna di jaman ini masih ada pemuda-pemuda yang mau membuat kegiatan seperti ini (kongres, red). Tentu ini harus diberi apresiasi dan harus didukung sepenuhnya. Apalagi kegiatan ini dirangkai dengan acara HUT Tondei Raya ke-100. Kita sandiri, karna baru tapili, nyanda tau mulai kapan ini kampung so ada. Kong sapasapa tu Ukung-ukung Tua pertama.”
Ketika ditanya mengenai apa yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan ini, Iswan Sual yang adalah salah satu penggerak di Sanggar Tumondei mengatakan, “Ini Kongres Bahasa Manado I di Tondei adalah tampeleng terhadap lembaga pembinaan bahasa SULUT yang so tatidor. Ato mungkin so mati. Sampe skarang nyanda perna ada usaha deri dorang mo angka tu bahasa daera di Sulut. Apalagi tu Bahasa yang torang ja pake harihari, Bahasa Manado. Padahal, dorang wo’o pe tugas itu! Ato sto dorang sangaja spaya ini bahasa mo mati.”
Konsep Kongres Bahasa Manado yang dihelat di salah satu desa Kecamatan Motoling Barat itu tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, yakni serius dan terlalu kakuh atau membosankan. Kyapa bagitu? Ini karena jalannya pertemuan itu pun dibarengi canda tawa dan keakraban. Bahkan diselingi ekspresi bebas seperti baca puisi oleh Chandra Rooroh, pagelaran tarian Kabasaran dan Patokaan dari Tuama dan wewene Tondei serta Sanggar Toar Lumimuut FBS UNIMA, Pementasan drama monolog oleh Teater Ungu FBS UNIMA, dan pelantunan lagu pop Manado oleh Sofyan Jimmy Yosadi cs. Selain itu awal dan akhir acara ini juga diperkaya lagi dengan peluncuran buku Antologi Puisi dan Cirita Pende “Tagulung” karya Yanli V. Sengkey dan “Sejarah Tondei (Keadaan Sampai Tahun 1989) karya Nyonya A.J. Bujung Moningka. Peluncuran ini disaksikan sejarawan muda Minahasa, Bodewyn Talumewo. Dan dalam kesempatan itu Tiffany Sumangkut selaku ketua Kerukunan Siswa Mahasiswa Tondei (KSMT) menghadiahkan Buku sejarah kepada Media Sulut yang diwakili oleh Rikson Karundeng. Media ini dikira mewakili khalayak ramai dan dianggap paling getol mendukung perjuangan kebudayaan kaum muda Minahasa di Sulawesi Utara.
Setiap peserta kongres punya kesan tentang Bahasa Manado. Selain peserta dari SULUT dan SULTENG, Ronald Whisler dari Lembaga Penerjemahan Wycliffe, di Amerika di sela-sela penyampaian makalanya, mengatakan bahwa, “Bahasa Manado mesti dijaga karena itu adalah kekayaan. Salah satu suku di Afrika pernah diberikan Alkitab berbahasa Spanyol oleh misionaris. Mereka sulit dikristenkan karena mereka mengatakan bahwa mereka tidak mau menyembah Tuhan yang tidak bisa bicara bahasa daerah mereka.” Senada dengan itu, Agus Pranata, seorang Jawa, sebagai salah satu aktifis perwakilan PRD pusat, “Bahasa Manado adalah bahasa yang menunjukkan identas. Bahasa ini menggambarkan orang Manado sebagai orang yang suka bicara lugas, langsung dan terus terang. Tidak sama dengan bahasa lain yang justru menunjukkan strata sosial.
Ada satu hal yang langka lagi dari acara ini. Di sesi terakhir tidak ada penandatangan kesepakatan bersama di atas kertas yang sifafnya mengikat. Peserta malah masing-masing diberikan kesempatan membaca sebuah kesimpulan, komitmen atau kredo pribadi mengenai bagaimana mengembangkan dan melestarikan bahasa dan sastra Manado.
“Torang pe kesepakatan adalah torang nyanda sepakat ada standarisasi/pembakuan Bahasa Manado. Itu mobeking ada orang yang mo dapa stigmatisasi ‘ini tu butul ini sala’. Torang nyanda mau mengulangi kegagalan Bahasa Indonesia, “demikian kata Denny Pinontoan, Sofyan Jimmy Yosadi dan Fredy Sreudeman Wowor sebagai sanggahan kepada Iswadi Sual dan Chandra Rooroh yang mewakili kelompok yang memperjuangkan pembakuan Bahasa Manado.

Jumat, 24 Mei 2013

CINTA SATU MALAM DI PUNCAK LOLOMBULAN[1]



Sebuah catatan perjalanan pencarian situs pernikahan Toar dan Lumimuut
Oleh Iswan Sual



Kamis, 9 Mei 2013

Curah hujan rintik-rintik ditemani udara dingin yang menusuk tulang tak sanggup mencegah kehendak beberapa pemuda menelusuri jejak-jejak kaki leluhur mereka. Jejak-jejak kaki Makarua Siow[2]. Rayuan belaian angin dan godaan kehangatan selimut tak mampu menjadi penghalang tekad yang sudah bulat. Pun kabut yang menutup langit tak kuasa mengurung niat enam teruna anggota Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) ini. Tas punggung (carrier) disarati bekal seadanya telah siap dipikul. Termasuk lentera dan sebotol minyak tanah untuk digunakan sebagai pemantik api karena pastilah sangat sulit mendapatkan kayu kering di musim hujan.
***
Pukul 12.15 kaki-kaki yang masih kuat beralas sandal jepit mulai menapaki jalan basah dan agak licin. Tak butuh waktu lebih dari semenit kini mereka telah memunggungi Aer Tondei[3] menuju perkebunan Selderei. Medan menjadi sedikit mudah bagi kami sehingga perjalanan tak begitu menguras tenaga. Di tanah yang agak datar itu kami mendapati sebuah kotak yang terbuat dari semen setinggi kira-kira 4 meter. Dari prasasti yang menempel pada tubuhnya tahulah kami bahwa itu adalah bak penampung air yang dibuat dengan dana PPK tahun anggaran 2006. Secara bergantian aku dan Iswadi Sual mengambil gambar dengan kamera digital kami. Sembari melangkah kami berdiskusi tentang beberapa jenis rumput yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan luka dan menambah stamina atau memulihkan kesehatan. Diantaranya rumpu membe’, rumpu macang, bunga takuti, sayor kenal, leilem, tu’is, mayana dan kendem. Pada waktu giliranku untuk menjelaskan, ada yang mendengar secara serius ada juga yang menanggapi dengan balik bercanda. Gelak tawa pun pecah sampai mengusik burung-burung yang bertengger di dedaunan pohon cengkeh yang kelihatan elok dan siap untuk dipanen. Mungkin tak banyak. Namun dengan harga yang tinggi (Rp 180.000) sudah lumayan untuk mencukupi kebutuhan makan beberapa hari. Harga komoditi selalu naik bila pasokannya sedikit. Yang beruntung adalah petani yang menyimpan hasil panen dan menunggu hingga harga melambung tinggi. Bagi kami, hal itu sukar dilakukan. Bahkan kadang buahnya sudah laku terjual sebelum dipanen. Terpaksa kami berhutang karena tuntutan kebutuhan sering tak bisa ditolak.
“Lihatlah pohon mangga di sana,” semua mata tertuju pada pohon besar dan menjulang tinggi ke langit, “di bawah pohon itu: Tonaas Muntuuntu, Wongkar, Timporok dan Sual mendirikan terung[4] ketika mereka sedang menunggu bunyi burung manguni sebagai jawaban terhadap pertanyaan dimana tempat yang paling layak untuk didirikannya sebuah perkampungan yang sekarang kita namakan Tondei,” kataku sambil berjalan dengan nafas terengah-engah. Dahi Yanli Sengkey tampak mengerut ketika otaknya mengolah informasi yang kuberikan. Sedangkan Billy Ompi dan Glendy Wongkar. Hanya Rianto Wongkar dan Iswadi yang tak menunjukkan ekspresi yang berkesan. Barangkali informasi itu sudah bukan hal yang baru buat mereka. Di titik dimana kami berdiri terlihat Lolombulan yang berdiri megah – menantang jiwa petualangan kami. Semangat untuk segera merasakan suasana hutan belantara. Ini membuat tanjakan yang nyaris sejauh 3 km terasa cepat terlalui. Otot-otot yang tadinya mengeras menjadi lemas dan tenang lagi tatkala kami tiba di kali di perkebunan Rarem. Dengan menggunakan tangan kami meneguk airnya yang sedingin es.  Raga dan jiwa digenangi kesejukan yang memanjakan.
Perjalanan kami lanjutkan sampai kami berada di ketinggian dimana kami dapat melihat penggunungan Sinonsayang ada bawah kami. Ada rumah sederhana berdiri di tengah-tengah kebun yang disarati pohon cengkeh jenis Zanzibar. Pohon yang berdaun lebat dan elok dipandang mata. Kami melepas lelah sekitar sepuluh menit di rumah itu. Sebuah sepeda motor terparkir disampingnya. Ada pula tetengkoren[5] bergayut. Kini fungsinya tak begitu dipahami orang karena telah didepak oleh kehadiran telepon genggam, ipad dan lain sebagainya. Keluar kalimat penyesalan dari mulut kami saat kami keluar dari halaman rumah yang kami singgahi. Betapa bodohnya kami. Tidak mengisi air di wadah yang kami bawah. Apa yang akan kami minum dan dengan apa kami akan memasak nasi? Tanjakan menuju puncak sudah di depan mata. Kami berharap masih ada sungai atau sumber air yang akan kami lewati. Di persimpangan jalan kami bertemu dengan seorang ma’gula[6] yang baru pulang remoyor[7] atau keme’et[8]. Dia menunjukkan arah kemana kami harus pergi. Begitu senangnya kami karena dia muncul saat dibutuhkan. Glendy sebagai penunjuk jalan mulai kami ragukan pengetahuannya akan rute ke puncak Lolombulan. Rupanya dua tahun cukup membuatnya tak akrab lagi dengan bekas jejak kakinya.
Hanya dua belokan dari titik dimana kami bertemua seorang ma’gula kami bertemu pula seorang ma’gula yang lain di tampagula – pabrik pembuatan gula. Aroma gula aren begitu mengundang. Kelima teruna langsung berkerumun di rumping[9]. Panas tak mereka pedulikan. Si pemilik pun enggan melarang. Sudah menjadi semacam keyakinan bahwa seorang ma’gula tak boleh pelit agar gula yang dihasilkan kian bertambah. Hanya aku yang seolah tak berminat. Sibuk mengabadikan tindak-tanduk teman-teman yang tengah menikmat gula kenyal dan masih lengket itu. Rasa kagum si pembuat gula aren itu terpatri di wajahnya. Dia memberi petunjuk arah jalan ke puncak gunung yang berjumlah dua itu. Termasuk rute mana yang punya air dan yang tidak punya.
Kami mengambil jalan di sebelah kanan karena harus mengambil air. Dua belanga dan satu ember aluminium yang kami temukan di sebuah gubuk yang telah lama rubuh. Jalanan yang menanjak membuat kami semakin tertantang. Agak mudah  bagi kami mengenal jalanan ke puncak karena ditandai dengan jerat-jerat tikus yang berjejer di pinggirannya sepanjang jalan. Barisan jerat tikus itu mirip tembok Cina. Kadang-kadang kami menemui jalan butuh dan tersesat. Bila rerumputan menjalari pohon rumbang yang melintang di jalan. Namun, tak lama kemudian kami sudah bisa kembali ke jalan yang sebenarnya. Secara bergantian aku, Rianto dan Glendy dengan parang menebang kayu yang menghalang di depan untuk membuka jalan. Bukan hanya beberapa kali kami terantuk pada duri. Yang paing sadis adalah duri dari batang pohon rotan. Teriak-teriakan histeris akibat tusukan duri melengking di pendengaran. Yang mendengar selalu kaget dan datang menawarkan pertolongan. Kalau tidak parah, hanya gelak tawa yang mereka bawa. Beberapa kali kami berhenti untuk beristirahat sembari menunggu salah satu dari kami membuka jalan. Dua kali kami bertemu dengan kawanan yaki – monyet berjambul dan tanpa ekor. Jenis monyet yang sudah langkah dan hanya ada di hutan Sulawesi.  Jumlah dua kelompok itu sekitar 15 ekor. Karena mungkin sering diburu, monyet-monyet itu terlampau menjaga jarak dengan kami. Kamera digitalku tak diberikan sedikit waktu untuk mengambil gambar. Semakin dipanjat, Lolombulan kian gelap. Kampung Tondei pun sukar dilihat. Ditambah pepohonan yang lebat merintang.
Tubuh terasa letih dan matahari mulai terbenam. Jam tanganku kini menunjukkan pukul 16.30. Sesuai kesepakatan di awal perjalanan bahwa pada waktu itulah kami harus berhenti dan membangun tenda. Tepat di tempat yang agak landai aku langsung mengarahkan teman-teman untuk berhenti dan segera mengeluarkan terpal dan parang. Saya, Glendy, Yanli dan Iswadi menangani pembuatan tenda. Sedangkan Rianto dan Billy membuat api untuk menanak nasi. Hari belum gelap ketika tenda selesai dibangun. Makanan pun siap dicerna. Karena tidak tersedia piring dan sendok, kami makan secara bergantian. Dimulai dari Yanli dan diakhiri oleh Rianto. Burung-burung memperdengarkan bunyi yang sedikit menakutkan. Bicara kami kian dipelankan. Orang tua sudah mengingatkan bahwa tak boleh ada teriakan di Lolombulan. Karena kabut akan melingkupi kami hingga kami tak dapat melihat wajah teman kami yang ada di dekat. Itu bukan mitos atau dongeng. Itu cerita benar. Dan kuanggap itu sebagai suatu pandangan dan ajakan kepada pengunjung hutan agar sopan dan menghargai alam. Sebab bukan hanya kita yang ada di situ. Kita diajar untuk tak mengusik ketentraman setiap makhluk di dalam hutan.
Lentera yang kami bawa sudah cukup menjadi penerang. Lampu-lampu yang berkedip di kejauhan turut menghias pemandangan di malam hari. Mungkin lampu-lampu itu datang dari kampung Tiniawangko dan Boyong Atas. Dingin meliputi kami. Semua pakaian hangat dikenakan. Namun tetap terasa dingin. Semua menggigil. Cerita lucu yang dibawakan Billy sedikit mengusir rasa dingin. Selanjutnya kami terus memeluk tubuh kami. Pun ketika kami sedang mempelajari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi kami. Secara bergilir kami berbicara membahas pasal demi pasal dan ayat demi ayat undang-undang wadah dimana kami berhimpun. Di atas tikar dan kasur kecil kami berenam terbaring kaku menahan hembusan angin yang menusuk tulang. Yang paling tidak nyaman adalah Glendy dan Rianto. Itu karena mereka tidur paling tepi. Dan ternyata semua mengalami yang namanya susah tidur akibat dihantui perasaan takut. Imajinasi kreatif kami menghadirkan suasana angker yang menakutkan. Tapi kami semua berusaha mengendalikan rasa takut. Justru yang paling kami takuti adalah longsor dan ular piton. Maklum, letak tenda kami di kemiringan. Dan berbahaya.
Semua susah tidur pulas. Giliran jaga malam tidak berlaku. Akulah satu-satunya yang bertugas. Secara jujur, aku orang yang paling khawatir tentang keselamatan kami. Karena akulah yang tertua. Meski semua kami sudah dewasa, orang-orang tua kami bisa menyalahkan saya bila terjadi sesuatu pada kami. Maka dari itu aku selalu terjadi setiap kali terdengar suara yang mencurigakan di sekitar. Telepon selular kuhidupkan acapkali untuk mengetik status di jejaring sosial, Facebook, atau mengirimkan pesan singkat ke pacarku. Sebagai jaga-jaga bila sesuatu terjadi. Orang lain di luar sana bisa mengetahui dimana kami. Walaupun sepanjang perjalanan pohon-pohon kuikat dengan pita merah sebagai penanda untuk mempermudah pencarian.

Jumat, 10 Mei 2013
Sekitar pukul 07.00 kami bangun dan langsung membereskan tenda untuk melanjutkan perjalanan. Betapa kagetnya kami mendapati sandal Glendy hampir habis dilahap bara ap!. Tapi apa mau dikata. Kelengahan telah berlaku. Dan percuma berharap kembalinya waktu. Agar itu bisa diantisipasi.
Tak ada minum pagi atau sarapan. Dengan tenaga yang segar kami mulai lagi penjelajahan. Duri tebal siap menghalang tapi parang siap pula menerjang. Sabetan parang Rianto melapangkan lorong di tengah hutan. Obsesi untuk mencapai puncak sudah tak tertahan lagi. Keringat bercucuran membasahi pakaian yang telah kami kenakkan sedari sehari sebelumnya. Sejam kemudian kami tiba di puncak. Tanda-tanda kehidupan babi hutan nampak di tanah. Ada bekas dimana mereka tidur dan bermain. Semakin jauh kami melangkah semakin bagus jalannya. Berbentuk seperti parit. Kami tahu itu bukan selokan air melainkan jalan pulangan[10]. Para penebang kayu liar menggunakan jalan ini untuk mengangkut kayu. Penebang liar bukan hanya masyarakat biasa. Ada juga pejabat-pejabat tinggi yang menggunakan jasa kerabat di kampung. Biasanya mereka kebal hukum. Tak ada resiko. Lain halnya dengan masyarakat biasa yang sewaktu-waktu bisa dibekuk dan dilemparkan ke penjara.
Kami memutuskan berhenti dan beristirahat di tempat yang agak datar. Nampaknya tempat itu sering dijadikan tempat tenda. Di dekat situ ada sebuah lolombeng[11]. Lokasinya persis di simpang tiga. Segita: dari Tondei, bila ke kanan, menuju Raanan Baru dan bila kekiri, menuju Malola. Karena cuaca baik kami tidak mendirikan tenda. Perut mulai berteriak. Kami pun mulai mengumpulkan ranting dan cabang kayu. Disitu kami membuat api untuk memasak nasi dan ikan kaleng. Udara di situ terasa sangat sejuk. Suara burung kakatua dan titicak turut memeriahkan keadaan. Canda tawa berulang kali tercipta. Kuwujudkan ungkapan perasaan dengan mengetik status di jejaring sosial. Ada lebih dari lima orang yang mengklik tanda jempol. Mungkin mereka suka. Suka karena mengerti bahasa Tontemboannya. Atau mungkin cuma asal klik saja. Sinyal telepon selular amat bagus. Tidak seperti di kampungku. Seandainya para monyet punya telepon genggam, tentu mereka lebih terinformasikan dibanding kami yang tinggal di belakangnya.
Sontak salah satu dari kami berteriak histeris. Kami bingung. Barangkali ada yang kena sabetan parang atau tertusuk duri. Atau terperosok ke dalam lolombeng. Ternyata tidak. Rasa geli melihat linta menempel di kaki. Itulah yang membuat Billy berteriak. Karena panik dia mencabut linta dengan kasar. Akibatnya kakinya robek dan mengeluarkan banyak darah. Yanli dan aku juga diserang linta. Iswadi menganjurkan agar tidak menarik linta dengan paksa. Cukup mengelusnya dengan manja maka binatang kenyal, lembut dan berwarna coklat kehitam-hitaman itu akan lepas dan jatuh dengan sendirinya. Setelah kami coba, ternyata dia benar! Aku terheran-heran. Darimana dia mendapat informasi cara jitu melepas linta? Kami meninggalkan ember dekat perapian lalu melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung lain. Lolombulan ternyata bukanlah gunung dengan puncak tunggal. Ternyata ada tiga gunung utama. Duanya lagi bernama Rakowulan dan Lincewulan. Informasi ini kuperoleh sewaktu kami mampir di desa Malola. Ferlan Liow, anak kepala desa Malola, memberitahu kami.
Tidak sukar kami meneruskan perjalanan. Sekali lagi dodeso, jerat-jerat (dotikus yang berjejer di jalan menjadi pemandu. Perlu juga aku sampaikan bahwa jerat yang kami temui banyak macamnya. Mereka adaah ta’ang, ruyang, kapiring, lompit, torak dan litau. Lima jerat pertama digunakan untuk menangkap tikus. Yang disebut terakhir adalah jerat untuk menangkap babi hutan. Untuk menangkap burung biasanya yang digunakan adalah leka’. Kelelawar ditangkap dengan tetempang. Dibantu dengan menara, tempat dimana seorang akan berdiri membentangkan jaring. Begitu kelelawar menabrak jaring, sekonyong-konyong dan cekatan orang itu akan menutup jaringnya. Kami melihat satu menara dan gubuk dimana pencari kelelawar biasanya berpangkalan.  Disitu pula kembali kami melihat bekas jalan orang pernah gunakan untuk menarik, dengan menggunakan sapi dan pulangan, kayu-kayu yang telah diolah.
Setelah melewati jalan yang agak curam berbatu (kepal, Tontemboan), kami menemukan sungai kecil. Beberapa kali tegukan sudah sangat memuaskan tenggorokan yang tadinya sudah kering. Botol yang sudah kosong kami isi penuh dengar air segar, seperti baru dikeluarkan dari kulkas. Kami mengambil jalan yang agak menanjak sudah itu. Kira-kira seratus meter jalannya nyaman untuk dilalui. Tampak rute itu sering dilewati. Di tempat kami berpijak pemandangan gunung-gunung lain di belakang kami. Desa Tiniawangko dan Boyong Atas yang seharusnya terlihat, sama sekali tak tampak karena tertutup kabut yang tebal. Percuma mengambil gambar dengan kamera, pikirku. Sudah itu, kami mengambil jalan yang sudah tertutup rotan berduri dan belukar tebal. Rianto dengan parangnya yang luamayan tajam memimpin di depan. Berkali-kali ada jedah. Capai begitu menguasai tubuh kami. Hampir setiap 50 meter kami berhenti sejenak. Sejam kemudian kami tiba di puncak gunung yang lain. Puncak tertinggi Lolombulan. Setidaknya itu menurut informasi yang kami terima dari orang yang sudah bisa melanglangbuana di hutan yang lebat itu. Tapi sayang sungguh sayang. Kami tak bisa berlama di puncak dengan darat yang tak luas. Dinginnya menusuk tulang. Tambah lagi linta-linta kian merajalela. Sangat cepat mereka memanjat tubuh kami. Linta-linta itu hampir saja masuk telinga saya. Kaki yang tak terbalut penuh dengan linta yang kian membesar ukurannya lantaran darah telah mengenyangkan mereka. Di puncak itulah aku tahu bahwa ada dua jenis linta di Lolombulan. Linta yang berwarna coklat kehitam-hitaman yang lambat memanjam dan linta yang berwarna kuning kehijau-hijauan yang cepat bergerak merayapi tubuh hingga ke bagian kepala.
Rasa geli dan risau kehilangan banyak darah mengubah keputusan kami. Tadinya kami berencana untuk mendirikan tenda barang sejam menikmati udara di puncak itu. Dengan terpaksa kami mengurungkan niat itu dan langsung meluncur dengan segera ke sisi gunung lain. Kata Glendy dengan penuh keyakinan bahwa kami sedikit lagi akan sudah di wilayah perkebunan Malola. Semakin menurun kian banyak jalan yang membingungkan. Untung, Glendi sang Tonaas masih mengingat rute. Jadi, setiap kali kami tersesat selalu dengan cepat dia bisa menunjukkan jalan kembali. Kepercayaan diri bertambah ketika kami tiba di sebuah tampa captikus. Seorang bapak menguraikan dengan gamblang rute ke desa Malola. Dan itu sangat melegakan kami berenam. Selanjutnya, perjalanan kami penuh dengan keindahan, kegembiraan, serta senda gurau. Pohon cengkeh dan kelapa yang subur turut menjadi oase yang memberi kepuasan pada jiwa dan batin kami. Lebih khusus aku.
Kadang-kadang dari posisi kami berdiri kami bisa melihat beberapa desa yang tampak hanya berukuran butiran jagung. Dengan penuh spekulasi kami memberi nama pemukiman itu. “Oh yang itu Picuang, itu Wangka dan itu…..” Perkiraan kami salah. Awalnya kami berpikir hanya dalam waktu satu jam dari tampa captikus pertama kami sudah akan menemukan Malola. Agak sedikit menjemuhkan ketika harus mealui jalan berbatu timbul dan becek. Nyaris semua kaki lecet dan berdarah-darah. Bahkan Yanli sampai bermohon kami berhenti sebentar untuk mengaso karena dia menderita kena sula[12]. Beberapa pabrik captikus masih kami dapati menjelang kami memasuki desa. Mulai dari yang berukuran besar sampai yang besar. Mulai dengan yang beratap katu utang hingga yang beratap seng. Beberapa kali bertemu dengan warga desa Malola yang sementara bekerja atau sementara menuju ke kebun dengan sepeda motor. Selalu sapaan ramah tampak dari tutur dan tindak mereka.
Keterkejutan melandaku saat kami mulai memasuki desa Malola Satu. Ada dua kuburan besar. Semacam kuburan raja di belahan dunia Eropa. Aku terkagum-kagum melihat konstruksi bangunanya dan berandai-berandai kalau sekiranya uang yang dihabiskan untuk pembangunan itu bisa digunakan untuk membantu orang yang masih hidup ketimbang untuk orang yang telah tak bernyawa. Tapi, apa mau dikata. Pikiran seperti itu jarang menghinggapi orang-orang berharta. Biasanya semakin kaya seseorang maka dia semakin miskin untuk memberi. Ironis!
Kami berjalan menuruni desa. Orang-orang kampung melempari kami dengan tatapan heran dan kasihan. Barangkali karna tampilan kami seperti gembel. Wajah keremos, pakaian kotor oleh becek dan kulit pucat. Anak-anak yang kami sapa malah menjauh. Namun begitu kulemparkan gasing yang kupungut dari hutan, mereka melonjak kegeringan. Lama-lama mereka mulai membuntuti kami. Lalu mulai bercakap-cakap. Dengan sukarela juga menawarkan bantuan untuk mengantar kami ke rumah teman kami di kampung itu. Sewaktu di Malola Satu kami dijamu dengan kopi satu cerek. Paman Glendy sangat murah hati. Di Malola kami mampir cukup lama di rumah teman kami yang bernama Ferlan Liou. Ayahnya baru saja dilantik sebagai Ukung Tua[13]. Kami juga dijamu dengan kopi dan kue. Isi toples nyaris habis karena kami telah dilanda rasa lapar yang amat. Sudah itu kami diberikan makan siang yang enak. Menu yang sangat sesuai dengan seleraku. Keramahan keluarga Liow ini kian kental ketika kami diantar dengan mobil pick up menuju gua Jepang di perkebunan Tewalen (kalau tidak salah) yang terletak hanya sekitar 300 meter dari Motoling. Namun, harapan kami masuk ke gua pupus, sebab gua itu telah ditutup dengan beton. Betapa kecewanya kami!
Dari situ kami melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman kami. Berharap ada kendaraan akan memberi tumpangan. Kira-kira setelah 2 km perjalanan dengan kaki kami diberi tumpangan di kendaraan pick up yang hendak mengantar tim sepak bola ke Raanan Baru. Dari situ pula kami melanjutkan perjalanan dengan kaki. Sungguh beruntung dan tak disangka-sangka, 1 km kemudian mobil pick up milik orang Tondei. Dan betapa terkejutnya ternyata sang sopir adalah teman kami yang sehari sebelumnya telah membuat kami sedikit kesal. Dia yang membuat kami menunggu lama sia-sia, tapi membatalkan keberangkatan bersama kami untuk menakhlukkan puncak Lolombulan. Rasa lelah dan nyeri karena lecet pada kaki langsung hilang begitu kami tiba di rumah. Terucap sebuah syair dari mulutku:
Lombulan

Lolombulan, kau tinggalkan sebuah lukisan sarat kekaguman
Yang kan selalu kupandang
Cinta ku lekas bersemi dalam satu malam
Akan membekas hingga akhir zaman

Sukar dilupa
Meski duri dan belukar
Tebal melintang
Namun kuanggap itu sebagai kelakar

Lolombulan kau selalu kurindukan
Pula Rakowulan dan Lincewulan
Misteri dan keramahanmu kan
Selalu dalam hatiku terhujam

Lolombulan O Lolombulan
Yang selalu mengundang kekaguman


[1] Lolombulan adalah salah satu gunung yang termuat dalam mitologi Minahasa. Konon, leluhur orang Minahasa yakini Toar dan Lumimuut melangsungkan pernikahan di puncak gunung itu dengan disaksikan bulan penuh. Lolombulan termasuk dalam area yang dulunya disebut Malesung. Jauh sebelum nama Minahasa dilekatkan kepada orang-orang keturunan Toar dan Lumimuut.
[2] Nama keturunan pertama Toar Lumimuut . Secara harafiah berarti dua kali sembilan.
[3] Secara harafiah berarti air Tondei. Terletak di desa Tondei Satu. Dahulu, sebelum hutan masih lebat mata air ini tak pernah kering meski kemarau berkepanjangan
[4] Gubuk
[5] Alat komunikasi tradisional yang terbuat dari bambu.  Ada lubang hampir di sepanjang ruas. Bambu diketuk menggunakan sepotok kayu untuk menghasilkan bunyi.
[6] Pembuat gula aren
[7] Menurunkan air nira
[8] Memanen air nira. Kata ini digunakan secara bergantian dengan kata remoyor.
[9] Wajan/belanga goreng
[10] Sebuah perkakas yang ditarik sapi. Bentuk seperti huruf H dengan kuk tunggal. Digunakan untuk menarik kayu yang telah diolah menjadi papan ato balok yang ditebang secara illegal.
[11] Lubang perangkap tikus
[12] Rasa sakit pada perut bila berjalan. Biasanya disebabkan oleh banyak minum.
[13] Penulis sengaja menggunakan istilah Ukung Tua untuk mengganti Hukum Tua karena memang sudah begitu semestinya. Istilah Ukung terganti secara tidak sengaja oleh kata Hukum oleh karena kesalahan kecil namun fatal.

Rabu, 22 Mei 2013

TONDEI ZAMAN DAHULU KALA


Sebuah karya dari Cyrus Bujung
Ditulis kembali Oleh Iswan Sual, S.S



KEADAAN ALAM
Desa Tondei terletak di lembah dua gunung yang saling berhadapan, yakni Lolombulan di sebelah timur dan Sinonsayang di sebelah barat. Kira-kira 9 Km dari pantai. Sebagian besar wilayahnya adalah ladang perkebunan cengkih dan kelapa. Kedua jenis tanaman ini, karena iklim, sangat cocok di daerah desa ini. Akibat banyak digunakan untuk ladang perkebunan, sekarang ini, luas hutan makin berkurang. Penebangan liar umumnya untuk pembuatan rumah sendiri dan untuk dijual.
Desa Tondei terletak di suatu lembah yang diapit oleh gunung Lolombulan dan Sinonsayang dengan ketinggian kurang lebih 1.425 m. Oleh karena letaknya yang demikian, maka pada waktu tertentu, silih berganti berembus angin pegunungan dan angin laut. Pada musim kemarau suhu udaranya mencapai 26 derajat Celsius dan pada musim hujan suhunya menurun sampai 20 derajat Celsius.
Keadaan tanahnya sangat subur dan sangat baik bagi tanaman-tanaman perkebunan dan pertanian. Luas desa ini kurang lebih 1 km2 sedang luas wilayahnya kurang lebih 8 km2. Pada sebelah utara berbatasan dengan wilayah desa Ongkau dan Tiniawangko, sebelah timur dengan gunung Lolombulan, sebelah selatan dengan wilayah desa Raanan Baru dan pada sebelah barat dengan gunung Sinonsayang. Kedudukan desa Tondei sendiri sebagian agak landai, sebagian pula agak datar. Bagian yang agak landai dulunya, sebelum desa dimekarkan menjadi tiga, disebut “kampung gunung”, sedang bagian yang datar disebut “kampung liba”. (Saat ini bagian yang agak landai sudah merupakan wilayah administratif dari desa Tondei Dua. Sedangkan yang agak datar sudah menjadi wilayah administratif dari desa Tondei Induk (baca: Tondei) dan desa Tondei Satu).
Kira-kira 1 km sebelah utara desa ini pada jalan menuju Ongkau dan Tiniawangko terdapat satu perkampungan yang baru dengan nama Lumopa. Kadang-kadang juga disebut dengan Lopana.
Tondei umumnya, terletak kurang lebih 400 m di atas permukaan laut. Pada sebelah timur berdiri megah gunung Lolombulan dan gunung Kantil, ebelah barat gunung Sinonsayang dengan perbukitan Tukadia, Munte, Torosit, Kelemur, ke sebelah utara dengan perbukitan Paembongan, Pakuntungan dan Pondos.
Di sebelah utara mengalir anak sungai Tondei, lebih ke utara timur laut mengalir sungai Wawa, Kaluntai kecil, Aser, Kaluntai wangko, dan Kokitong. Di sebelah timur mengalir sungai Raanan (kadang-kadang juga disebut sagai), di sebelah selatan juga sungai Raanan, sungai Suka, Komanga’ang, Neang, sedangkan di sebelah barat mengalir sungai Raringis.
Hutan-hutan besar terdapat di lereng gunung Lolombulan dan Sinonsayang yang dihuni oleh beraneka ragam jenis binatang antara lain yaki (monyet yang tidak berekor), sapi hutan (anoa), babi hutan (kalowatan), rusa, ular sawah, burung enggang dan sebagainya. (sekarang ini sulit untuk ditemukan jenis binatang seperti itu. Orang Tondei suka menkonsumsinya).
Sapi hutan dan rusa merupakan binatang yang sudah kurang jumlahnya alias langkah, sehingga sangat perlu dilindungi dari kepunahan. Ini memang agak sulit untuk dilakukan karena orang Tondei sangat gemar memakan binatang hutan. Naluri untuk membunuh dan memakan binatang sudah mendarahdaging karena sudah diwariskan secara turun temurun.

LUAS WILAYAH
Luas wilayah Tondei cukup besar. Luas desa Tondei pada pembentukkannya ± 200x100 m2, sedang luas pada tahun 1989 yang dicatat oleh A. Moningka adalah ± 1 km2 (1989:21). Panjang jalan yang menghubungkannya dengan ibu kota Kecamatan Motoling Barat, Raanan Baru, kurang lebih 9 km.

JUMLAH PENDUDUK
Perkembangan penduduk:
Tahun 1906-1908 : ± 200 jiwa
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa

Suku-suku
Suku-suku ; tontemboan, dan beberapa keluarga dari Tolour.
Tondei dikategorikan sebagai desa Swakarya.
Jumlah jaga (dusun):
1908 : 1 jaga
1913 : 2 jaga
1950 : 4 jaga
1968 : 5 jaga
1976 : 6 jaga
1982 : 7 jaga
1984 : 10 jaga

Lingkungan hidup
Sejak berdirinya desa ini hingga akhir tahun 1977 jalan ini sukar dilalui kendaraan bermotor. Ini menyebabkan sukarnya rakyat Tondei pergi ke pasar untuk mengeluarkan hasil pertanian seperti kopra, gula aren dan sebagainya ke Motoling dan Ongkau.sekarang dengan adanya kegiatan rajkyat Tondei dalam memperbaiki jalan antara Tondei dan Raanan baru, maka kendaraan bermotor sudsh boleh memasuki desa Tondei, seklaipun hasu mengalami keulitan juga di waktu musim hujan. Sepanjang 3 km dari Tondei ke Raanan Baru jalan ini melntasi daerah perkembunan orang-orang Tondei, melewati hutan lereng, gunung dengan tebing yang curam di sebelah kiri sedang di sebelah kanan menganga ngarai yang dalam, dan 3 km melintasi perkembunan orang-orang Raanan Baru. Sering hubungan antara kedua desa ini terputus kaibat tanah longsong, lebih-lebih pada musim hujan. Daptlah dibayangkan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat TOndei dalam soal jalan. Tiap-tiap hari senin rakyat Tondei kerja bakti memperbaiki jalan sampai jauh dalam perkebunan orang-orang Raanan Baru. Masyarakat Tondei selalu betanya-tanya bilakang pemerintah ingat akan jalan perhubungan Tondei-Raanan Baru?
Tondei penghasil kopra terbesar di kecamatan Motoling membutuhkan jalan yang baik untuk dapat menyalurkan penghasilannya ke pasaran. Dan masyarakat Tondei bukan saja menunggu-nunggi tetapi mereka berusaha dan bekerja.
Tondei juga dihubungkan dengan desa pantai Ongkau dengan sebuah jalan yang panjangnya kurang lebih 9 km. dari Ongkau jalan ini sudah diaspal sepanjang 6 km. ada tanda-tanda bahwa pengaspalan jalan ini akan mencapai desa Tondei. Jika hal ini menjadi kenyataan, maka rakyat TOndei akan lebih mudah mengankut hasil petaniaannya dengan kendaraan bermotor ke pasar Ongkau.

Kesehatan
Untuk kepentingan kesehatan dan urusan KB oleh PUSKESMAS Motoling telah dibuka di Tondei sebua Pos Kesehatan yang dipimpin oleh seroang jururawat. Pada akhir tahun 1984 tercatat 99 % dari pasangan usia subur sebagai peserta KB.
Pertanian
Perkembangan di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan agak lamban. Kebanyakkan petani masih merupakan petani alamiah. Karena suburnya. Tanah pertanian maka masih jarang orang yang menggunakan pupuk. Kebanyakkan masih mempraktekkan cara-cara tradisional dalam mengelolah tanahnya.
Pada tahun 1980 dan 1981 telah diadakan reboisasi di lereng gunung Kantil sehingga bahaya erosi terhindar, larangan merombak hutan secara liar dipatui oleh seluruh masyarakat. Petani-petani Tondei mencurahkan perhatian yang besar pada penanaman kelapa dan cengkih, tetapi kurang perhatian pada bersawah dan berladang. Untunglah pemerintah desa Tondei sekarang giat berusaha menyadarkan dan membimbing rakyat agar bergaiaran menanam tanaman musiman terutama pada dan jagung. Salah satu usaha kea rah maksud tersebut pemerintah desa telah membuat satu kebun percontohan dengan kerja sama dengan BLPP Kalasey sebai Pembina dan pelatih.Mesin paras

Orang yang lahir di Tondei pertama kali adalah nenek wongkar gerung sekitar tahun 1906. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di desa Tondei Raya banyak mengalami peningkatan. Ini juga sangat jelas terlihat dari dimekarkannya desa Tondei menjadi 3 desa, yakni desa Tondei Satu, Tondei Dua dan Tondei. Beriktu ini data mengenai kependudukan dari ketiga desa:

Zaman Prasejarah
Keadaan pada masa prasejarah tidak banyak diketahui orang. Konon, daerah ini merupakan lalu lintas pahlawan-pahlawan Tontemboan yang pergi ke Poigar dan Mariri yang merupakan wilayang kerajaan Bolaang Mongondow untuk bertempur dan berperang, sewaktu berkobar perang antara Sub suku Minahasa (Tontemboan) dan Bolaang Mongondow. Setelah perang selesai, banyak di antara pahlawan-pahlawan itu menetap di Mariri bahkan menyebar hingga ke wilayah Doloduo. Meskipun tinggal jauh dari tanah Minahasa mereka tetap berbahasa Tontemboan.
Dalam perjalanan pulang, banyak pula diantara mereka yang singgah dan menetap di Mawale yang sekarang ini disebut Tondei. Jadi orang yang bepergian dari Tompaso Lama ke Mariri atau sebaliknya awalnya menjadikan Mawale sebagai tempat persinggahan. Mereka menetap. Dan lama kelamaan mereka bertambah banyak, mereka dinamai orang-orang Raanan karena tinggal dekat anak sungai yang bernama Raanan.
Arti Raanan tidak diketahui orang dengan pasti, karena kata itu berasal dari bahasa Mongondow. Nama-nama perkebunan lainya juga berasal dari bahasa Bolaang Mongondow: Neang, Suka, Komanga’ang, Kaluntai, Aser, dan sebagainya. Hal ini tidaklah mengherankan karena daerah ini pernah dimiliki dan dihuni oleh orang-orang dari suku Bolaang Mongondow di masa lalu.
Menurut cerita tua, bahwa dahulu ada seorang raja Bolaang Mongodow yang bundanya seorang Putri Minahasa meminang putri dari suku Tontemboan. Raja yang bernama Damopolii itu memberi wilayah antara sungai Ranoiapo sampai sungai Poigar sebagai mas kawin kepada suku Tontemboan. Selama Damopolii menjadi raja, wilayah yang diberikan itu, yang disebut dengan Lewet, tidak pernah diganggu oleh orang Bolaang Mongondow. Tetapi setelah dia mangkat, orang-orang Bolaang Mongondow beriktiar untuk merampas daerah itu. Inilah yang menyulut peperangan di antara Bolaang Mongondow dan sub suku Tontemboan. Konon, sub-sub suku lainnya seperti Tombulu dan Tondano turut membantu. Pada masa perang orang-orang Tontemboan dari Tompaso Lama, Tombasian dan sekitarnya menyerbu dan memukul mundur Bolaang Mongodow sampai ke Mariri dan membersihkan daerah Lewet dari orang-orang Bolang Mongondow. Itulah sebabnya maka nama-nama sungai dan perkebunan serta gunung sekitar desa Tondei juga berasal dari bahasa Mongondow.
Namun, menurut versi lain, menyebutkan bahwa kata Raanan berasal dari bahasa Tontemboan yakni “ra’an” yang artinya padi yang sudah lama disimpan yang dipanen pada beberapa musim yang lampau, belum habis dikonsumsi, kini tiba musim penuaian yang baru. Maka hal ini merupakan pula gambaran tentang kelimpahan yang dinikmati oleh orang-orang Raanan di masa lalu.
Kedatangan para perompak bangsa Mangindanau yang menculik orang-orang Tontemboan untuk dijual ke negerinya sebagai budak, ditambah pula dengan bercabulnya wabah penyakit yang berbahaya, memaksa orang-orang Raanan itu meninggalkan “Mawale” dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka pergi wilayah lain yang bernama Lutau atau Sagai. Yang letaknya kurang lebih 50 meter di sebelah selatan desa Tondei Sekarang, dekat sebuah mata air. Kebenaranya dapat dibuktikan dengan adanya sebuah lesung batu yang besar, yang tertanam di dalam tanah kurang lebih 1 setengah meter tingginya di atas tanah. Pada dinding luarnya terdapat ukiran pria dan wanita yang sedasng menari.
Mereka tak dapat tinggal lama di tempat itu. Tempat itu tercium oleh perompak Mangindanau atau Mindanau (baca: orang Filipina). Karena gangguan kaum perompak ini, mereka terpaksa meninggalkan tempat ini lebih jauh lagi. Sebagian dari orang Raanan ini ada yang mengungsi ke Rata Laur-suatu daerah yang terletak di antara desa Raanan Baru dan Malola sekarang. Ada juga sebagian yang menuju dan menetap di di Lompad di sebelah barat desa Raanan Baru sekarang. Kemudian kedua bagian itu meninggalkan tempat-tempat persinggahan mereka karena kemungkinan menurut petunjuk opo-opo melalui bunyi burung Manguni (wala) tempat-tempat itu tidak baik untuk dijadikan kampung. Mereka mencari tempat yang bergunung-gunung dan dikelilingi jurang-jurang agar terlindung dari ancaman perompak Mangindanau ini. Sesuai dengan dengan petunjuk opo-opo melaui isyarat burung Wala tempat itu ditemukan. Mereka menetap di tempat itu yang dinamai Raanan Lama sekarang.
Tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, bilakah orang-orang Raanan mendirikan perkampungan Mawale yang terletak di sebelah barat desa Tondei sekarang. Namun ada beberapa secara yang dapat dijadikan dasar perkiraan.
Pertama, menurut sejarah Minahasa yang ditulis oleh bapak B. Supit bahwa pada akhir abab ke-17 terjadi perang antara Loloda Mokoagow alias Datuk Binangkang, raja Bolaang Mongondow dan para ukung di Minahasa. Orang-orang Minahasa mengalahkan prajurit-prajurit Loloda, dan memburu mereka sampai ke daerah Bolaang. Mawale menjadi tempat persinggahan mereka dan ada pula yang menetap.
Pada tahun 1694 ditetapkanlah sungai Poigar sebagai batas antara Minahasa dan Bolaang Mongondow. Beralas pada kejadian ini, maka diperkirakan Mawale didirikan antara tahun 1693 dan 1694.
Kedua, dalam tahun 1708 telah terjadi perang antara Walak Kakas dan Walak Sonder. Banyak yang jatuh korban di pihak Walak Sonder. Para taranak Sonder merasa tidak puas terhadap pemimpin Walak lalu mengungsi ke selatan, ke Bolaang, melintasi daerah Mawale. Kemungkinan ada yang singgah dan menetap di sana.
Ketiga, dalam tahun 1764 terjadi perang antara Walak Bantik dan Walak Tombariri. Untuk menghindari pertempuran, banyak yang melarikan diri ke selatan dan diduga banyak dari antara mereka melewati Mawale atay menetap di sana. Sebagian besar langsung ke Bolaang Mongondow. Mereka diterima dengan baik oleh raja Salomon Manopo dan mengijinkan mereka mendirikan dua perkampungan yakni Mariri dan Po’opo
Beralas pada penuturan orang-orang tua Tondei dan ditambah pula dengan fakta sejarah di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Mawale telah didirikan antara tahun 1693 dan tahun 1694 oleh orang-orang Tumompaso, Sumonder, Tombariri, dan suku-suku dari utara Minahasa yang kemudian di sebut sebagai orang-orang Raanan.
Sumber lain memberitahu bahwa Mawale adalah suatu tempat lokasi perkampungan orang-orang yang mencari nafakah (ikan hutan) lalu oleh karena orang-orang yang bermukim di situ bukan orang asli dari lokasi tempat tersebut karena jarak desa mereka dengan tempat mencari nafkah jauh, sehingga dalam beberapa waktu kemudian, tempat mereka (Raanan Lama, Wanga, Lompad) jadikan tempat istirahat atau terung (pondok) mereka mulai membuka lahannya sambil menanam palawija berupa jagung, kacang-kacangan, ubi, pisang dan kelapa.
Kemudian setelah beberapa tahun mereka bermukim di situ mereka mulai mendapat tantangan yang diistilahkan mamuis (orang mengambil kepala orang) dari Mangindanou. Padahal orang-orang Mangindanou bukan mengambil kepala orang tetapi menculik orang-orang Minahasa untuk dibawah di Mangindanou (Filipina) untuk dijadikan budak. Selain itupula masyarakat pemukim di lokasi tersebut diserang dengan penyakit malaria; sehingga mereka terpaksa tinggalkan lokasi tersebut beberapa tahun lamanya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1800.

ZAMAN TUMANI
Berdasarkan penuturan oran-orang tua daerah yang pernah didiami oleh orang-orang Raanan dulu di lembah antara gunung Lolombulan dan Sinonsayang itu amat subur dan sangat baik bagi pertanian. Ceritera tentang kesuburan tanah, banyaknya binatang buruan dan lain-lain tersebar luas pada akhir abad ke 19 ke desa-desa Raanan Lama, Raanan Baru, Motoling (Moloting: tuli-tempat persinggahan) dan Wanga. Ini yang menyebabkan mereka bersepakat untuk mencari dan menyelidiki daerah Mawale yang merupakan bekas perkampungan orang-orang Raanan.
Kemudian areal tersebut dicari ulang kembali oleh pemukim-pemukim yang masih hidup tetapi ternyata setelah mereka datang, Tonaas dan orang-orang tua yang bersama-sama memelopori untuk mencari areal perkampungan bukan lagi di lokasi tersebut akan tetapi sesuai dengan tanda melalui bunyi burung manguni makasiow sudah agak berpindah ke sebelah timur tidak jauh dari lokasi pemukiman pertama, yaitu yang sekarang dinamakan kampung Tondei.
Kira-kira tahun 1903 rombongan pertama di bawah pimpinan tokoh-tokoh perintis seperti Tonaas Daniel Muntu-untu dari Motoling dan Jusof Wongkar dari Raanan Lama (Ro’ong Ure) menemukan daerah itu dan hasil penyelidikan sangat memuaskan.
Pencari tempat yang baik untuk ditempati oleh masyarakat disebut tonaas atau kepala suku. Kepala suku atau tonaas memakai tanda bunyi burung yang dijelaskan tadi. Lalu setelah ternyata setelah tonaas menentukan tempat pemukiman masyarakat yang ditandai oleh bunyi burung manguni yang diyakini oleh tonaas maka tempat itu diadakan pengresmian melalui tonaas yaitu yang disebut atau diistilahkan dengan: tumani. Dengan cara mengambil suatu lokasi yang baik untuk pelaksanaan tumani tersebut. Tanda atau tumani tersebut dilaksanakan oleh yang dituakan atau Tonaas. Desa Tondei disahkan/tumani oleh Tonaas Daniel Muntu-untu, Jusof Wongkar, Timporok, Mogogibung dan Sual (dikenal dengan sebutan Mandor. Karena bekerja sebagai mandor.) .
Menurut penuturan dari keturunan Jusof Wongkar bahwa sebelum Tondei ditetapkan sebagai wilayah perkampungan mereka-rombongan pimpinan Daniel Muntu-untu, Yusof Wongkar,. (yang menyertai mereka adalah Mogogibung, Timporok (ayah dari Hero Timporok) berkomunikasi kepada opo-opo melalui burung wala. Tidak diketahui dengan pasti apakah mereka datang secara bersamaan namun. Awalhya mereka mendengarkan suara burung. Kemudian diberitahukan secara magis bahwa jika ingin mendirikan kampung di wilayah tersebut maka ada yang harus ditumbalkan usahakan mencari orang atau binatang. Batasnya adalah jam 9 pagi. Kalau tidak berarti salah satu dari mereka harus dijadikan tumbal. Karena dalam pencarian sulit akhirnya mereka memutuskan bahwa salah satu dari teman mereka yang bertugas sebagai juru masak. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan sejenis ular besar. Dan akhirnya mereka membunuh binatang itu dengan pepetur (senjata) dan menyuruh orang yang sebenarnya kan ditumbalkan (rages) itu untuk membawanya.
Saat itu masih banyak orang Mongondow yang berkeliaran di lokasi. Sering mereka muncul dan menakut-nakuti anak-anak supaya orang tidak bisa tinggal di sini. Seorang yang bernama Timporok menemukan dua orang Mongondow, konon merkea berkelahi satu dipotong telinganya kemudian disuruh pulang. Satunya lagi mati dan dipotong kepalanya dan dijadikan tumbal. Kepalanya dan kepala ular serta ekornya ditanamkan di di tanah dimana gedung GMIM berdiri sekarang.
Setelah mendengar bahwa jusof wongkar sudah membuka perkampungan baru di Tondei, keluarganya yang dari Paku ure datang berombangan dan mendiami tondei.
Usaha mencari tempat itu disebut “Tumonder”. Dalam bahasa Tontemboan yang artinya: mencari kembali bekas perkampungan Mawale. Hasil penyelidikana disebarkan ke desa-desa tersebut di atas. Sejak tahun 1903 rombongan demi rombongan datang berangkat ke daerah Mawale untuk merombak hutan dan membuka perladangan padi dan jagung. Bila panen tiba hasilnya dibawa pulang ke desa-desa masl mereka. Hal ini menimbulkan kesulitan. Jalan untuk kendaraan roda sapi belum ada dan muatan diangkut di atas punggung kuda. Keadaan ini mendorong petani-petani untuk menetap dan mendirikan satu perkampungan baru.
Berdasarkan hasil wawancara C. Bujung, Pada tahun 1906 dalam musim “Soroh wangko” atau kemarau panjang dalam bulan Agustus, sebelum membuka perladangan padi, para Tonaas memutuskan akan membuka perkampungan baru melalui suatu upacara keagamaan. Konon di tahun ini ada seorang anak yang lahir. Dipanggil nenek Gerung.
Tempat yang dipilih untuk meletakkan dasar pembangunan pembangunan perkampungan jaraknya kurang lebih 700 meter di sebelah timur mawale. Kira-kira di sebela selatan kintal/halaman gedung GMIM Tondei sekarang. Walaupun para pendiri desa Tondei sudah beragama Kristen, namun mereka belum meninggalkan kebiasaan-kebiasaan nenek moyang. Mereka merasa perlu menanyakan kepada Opo-opo apakah orang-orang yang kan menghuni perkampungan yang akan didirikan itu boleh hidu makmur dan sejahtera. Opo-opo akan menjawabnya melalui isyarat buru Wala. Bunyi burung yang akan terdengar sebagai jawaban mengandung dua arti: membenarkan atau menolak/melarang. Diperlukan 9 kali jawaban setuju berturut-turut.
Jalannya upacara sebagai berikut: Tonaas meniup semacam suling “Sumoring” namanya. Melalui isyarat ini ia menanyakan kepada opo-opo apakah tempat itu baik dijadikan kampung. Pada sumoring pertama jawaban opo-opo melalui bunyi burung wala “ membenarkan”. Mendengar jawaban setuju, Tonaas mematah-matahkan sebaikan dari sebuah lidi enau yang kering dan memasukkannya e dalam sebuah periuk tanah yang telah disediakan. Sembilan kali Tonaas meniup suling, sembilan kali jawaban setuju dari opo-opo melalui bunyi burung dan sembilan patahan lidi telah diisi dalam periuk tanah. Sembilan patahan lidi itu desebut “siow lentuk”. Setelah diperoleh 9 jawaban setuju, oleh Tonaas, diumumkan bahwa opo-opo setuju di tempat itu dibangun perkampungan. Periuk yang berisi siouw lentuk dimasukkan dalam sebuah lobang, kemudian ditimbuni menjadi “batu pertama” pembangunan perkampungan itu.
Jadi mengenai diresmikannya Tondei ada sedikit perbedaan. Antara hasil wawancara penulis dengan beberapa narasumber dan hasil wawancara C. Bujung. Kemungkinan perbedaan data ini disebabkan oleh wawancara yang kurang jujur atau informasi yang sengaja kurang. Ada beberapa yang tak mau disingkapkan. Tapi yang sama adalah mengenai letak pelaksanaan upacara tumani.
Sumber yang satu menyebutkan bahwa yang tanam dalam tanah adalah kepala manusia dan kepala dan ekor ular. Sedangkan sumber yang lain menyampaikan bahwa yang ditanam adalah kure. Kemungkinan besar adalah kure itu adalah benda yang sama dengan kepala manusia dan kepala dan ekor ular. Namun karena dilakukan secara magis mungkin juga dirahasiakan kepada khalayak ramai maka yang dilihat hanyalah kure bukan kepala manusia. Opo juga mengatakan bahwa banyaknya Madumi dari ular patola ini merupakan cerminan dari banyaknya penduduk Tondei nanti. Siapa saja yang datang, apakah akan bekerja atau urusan lain, akan kembali dan tinggal di Tondei. Di ujung kampung (aer Tondei) rupanya sudah ditaruh semacam jimat penghalang bahaya sekaligus penarik penduduk untuk tinggal. Namun, konon semenjak batu itu digusur oleh alat besar-loader-karena pengerjaan jalan, malapetaka mulai terjadi di Tondei. Jimat yang diletakkan itu sudah hilang kesaktiannya.
Pada mulanya orang menamai kampung itu “Toinondeian” yang artinya “dicari kembali” dan pada tahun 1908, tatkala tempat ini diakui sebagai dusun di bawah pemerintahan desa Raanan Baru namanya disingkat menjadi Tondei.
Tondei artinya sudah didapat dulu lalu ditinggalkan beberapa waktu. Kemudian,dalam beberapa waktu atau tahun dicari kembali lokasi pemukiman tersebut. Atau dalam bahasa Tontemboan, tinondeian. Dengan kesepakatan bersama oleh Tonaas dan orang-orang tua dan walian (guru agama alifuru) desa yang akan didirikan hendaknya dinamakan Tondei. Karena dicari kembali.
Awal pemerintahan
Dengan bertambahnya orang yang datang, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan social, perlu ada suatu pemerintahan sebagai wakil Hukum Tua ditunjuklah salah seorang pendiri perkampungan ini, yakni Jusof Wongkar yang berasal dari Raanan Lama dengan panggilan “Perewis”. Dialah yang menjalankan pemerintahan sehari-hari atas nama Hukum Tua Raanan Baru di tahun 1908 sampai 1915.
Dalam bulan November 1913, tanggalnya tidak diketahui dengan pasti, perkampungan itu diresmikan sebagai satu desa yang berdiri sendiri lepas dari pemerintahan desa Raanan Baru. Desa Tondei dapat memilih Hukum Tuanya sendiri. Kira-kira dalam tahun 1915 diadakanlah pemilihan Hukum Tua dan terpilih sebagai Hukum Tua pertama ialah bapak Demas Kawengian. Penduduk waktu itu kurang lebih 1000 jiwa dengan jumlah jaga tiga. Sesudah perang deunia II datanglah menetap di Tondei beberapa keluarga dari Seretan dan Langoan.
Desa Tondei diakui sebagai perkampungan pada tahun 1908 di bawah pemerintahan Hukum Tua Raanan Baru dan nanti pada tahun 1913 diresmikan sebagai desa yang berdiri sendiri dalam Onderdistrik Tompaso Baru, sekalipun Hukum Kedua berkedudukan di Motoling. Di bawah ini dicantumkan berturut-turut nama-nama Hukum Tua yang pernah memerintah desa Tondei sejak terbentuknya hingga sekarang:
1. Jusof Wongkar, wakil Hukum Tua Raanan Baru di Tondei (1908-1915)
2. Demas Kawengian, Hukum Tua pertama (terpilih) (1915-1931)
3. Isaak Sumangkut, Hukum Tua (terpilih) (1931-1940)
4. Israil Lumowa, Hukum Tua (terpilih) (1940-1946)
5. Herling Lumenta, Hukum Tua (wakil) (1946-1947)
6. Herling Lumenta, Hukum Tua (terpilih) (1947-1959)
7. Marinus Pondaag, Hukum Tua (ditunjuk) (1960-1964) mengepalai rakyat Tondei dalam pengungsian di Raanan Baru semasa pergolakan Permesta juga setelah kembali ke Tondei pada tahun 1961. (pada pusara tertulis bahwa dia menjadi Hukum Tua antara tahun 1957-1964, penulis)
8. Herling Lumenta, Hukum Tua (1964-1968)
9. Bernard Lumapow, Hukum Tua (Terpilih) (1968-1973)
10. Julian Wongkar (ditunjuk kemudian dipilih) (1973-1979)
11. John Lumapow, Pd Hukum Tua (ditunjuk) (1979-1980)
12. Johanis Sengkey, Wakil Hukum Tua (ditunjuk) ((1980-…)
13. Julian Wongkar, Hukum tua (terpilih) (1980-1983)
14. Gustaf Lumapow, Pd. Hukum Tua (ditunjuk) (1983-1984)
15. Laloan L.L. Sumangkut, Kepala Desa (terpilih pada 9 Juni 1984-1992)
Menurut catatan C. Bujung sampai 1993.
16. K. Lumapow (1993 Oktober-November)
17. Hukum tua terpilih atas nama Yulian L. Wongkar (1992-1997)
Pada tanggal 21 Oktober 1993 bukan 1992, dalam pemilihan Kepala Desa, J.L. Wongkar meraih suara terbanyak (460 suara). Calon waktu itu adalah J.L. Wongkar, Laloan Sumangkut, M. Lumapow, Modi Tambaani, Aki Lumowa, Stangs Pelle, Daniel Lumenta, Nus Wongkar.
Pada 2 November dilaksanakan serahterima dari K. Lumapow ke J.L. Lumapow. Acara dimulai jam 9. menurut pengumuman oleh pjs kepala desa jam 8. yang memberikan sambutan adalah K.Lumapow, kades baru, wakil orang-orang tua sebenarnya Manuel Lumapow, tapi digantikan oleh ibu Stangs Pelle, wakil BKASUA: C. Bujung.
Pada tahun 1997 desa Tondei dimekarkan menjadi tiga desa, yakni desa Tondei, Tondei Satu, dan Tondei Dua.

PENDIDIKAN
Menurut tulisan C. Bujung:
Di Tondei terdapat 6 sekolah, yakni:
1. taman kanak-akanak gmim dorkas tabita
2. SD GMIM
3. smp Kristen, ketiga sekolah ini dibawah asuhan Jemaat GMIM
4. taman kanak-kanak GPdI “Hana”
5. SD GPdI kedua sekolah ii dibawah asuhan jemaat GPdI
6. SD INPRES SDN

SD GMIM
Pada tahun 1970 diinstruksikan bahwa tiap-tiap SD harus didampingi oleh sebuah TK. Kepala SD GMIM C. Bujung mendirikan TK GMIM dengan nama “Dorkas Tabita” dan menunjuk seorang guru SD GMI diperbantukan pada TK tersebutu. TK ini didirikan pda tanggal 5 Juli 1970.
Berturut-turut TK ini telah dipimpin oleh guru-guru SD GMIM dpb:
• Ny. D. lumapow-sumangkut (1970-1973)
• Ny. L.E. Rawung-Lumowa (1973-1976)
• Ny. N. Lumowa-Bella (1976-hingga sekarang)
Sebagai tenaga sukarela bekerja juga pada TK “Dorkas Tabita “ 2 guru tamatan KPG jurusan TK yakni Ny. A. Pangkey-Palapa dan Ny. S. Kawengian Oping.
Pada permulaan tahun 1984 Pemerintah menempatkan seorang guru Pegawai Negeri Sipi pada Tk ini yakni Nona Meity Umboh dari Karimbow.
Pada tahun 1908 dibuka sebuah Sekolah Dasar yang berstatus swasta penuh dibawah asuhan jemaat Masehi setempat. Tujuannya untuk menampung anak-anak petani yang mulai menetap di perkampungan Tondei. Sekolah sedemkiaan disebut sekolah liar atau Wilde School ssesuai istilah pada waktu itu, yang biasa dikenakan pada sekolah-sejlah swasta penuh.
Pada tahun 1913 desa Tondei diresmikan sebagai desa yang berdiri sendri. Pada tahun itu juga sekolah jemaat itu diresmikan menjadi sekolah bersubsidi diabwah asuahan Nederlands Zenderlings Genooschap, sebuah Lembaga Pengijilan Belanda. Guru yang telah memimpin sekolah itu di masa masih berstatus “sekolah liar” diganti dengan seroang guru dari NZG.
Pada tahun 1934 tatkala GMIM memproklamasikan dirinya sebagai gereja yang berdiri sendri maka sekolah NZG itu menajdi Sekolah Rendah GMIM sesudah perang dunia II nama sekolah Rendah menjadi Sekolah Rakyat dan pada tahun 1964 menjadi Sekolah Dasar hingga sekarang.
Sejak berdirinya sebagai sekolah NZG pada tahun 1913 sekolah mempergunakan gedung gereja sebagai tempat belajar. Rumah ibadah itu dibagun di atas kintal yang dihadiahkan oleh keluarga Tumanduk milik GMIM.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dikeluarkan perintah, bawah sekkolah-sekolah tidak boleh lagi mempergunakan gedung gereja untuk tempat belajar. Berdasarkan perintah itu maka pada thaun 1944 Pemerintah desa Tondei berusah mencarikan kintal untuk Sekolah Rendah yang sekarang disebut SD GMIM Tondei, oleh karan pada masa itu hanya ada satu SR yang melayan pendidiikan bagi anak-anak dari seluruh masyarakat Tondei,yakni SR GMIM Tondei maka menjadilah pula kewajiban seluruh masyarakat Tondei untuk meyediakan keperluan sekolah termasuk kintal, gedung sekolah, alat-alat sekolah dan sebagainya. Hokum Tua TOndei pada amsa itu almarhum Israel Lumowa sesudah bermusyawarah dengan pamong-pamoong desanya mengutus kepala jaga Markus Lumenta (almarhum dengan kepala jaga Aris Poluakan almarhum membicarakan dengan bapak Zet Oping tengan penukaran sebuah tanah kebun milik umum dengan kintal dekat pekuburan umum milik almarhum tersebut. Dalam pembicaraan itu diperoleh kata sepakat oleh Israil Lumowa sebagi Hukum Tua menyerahkan kintal itu pada kpala S.R. Tondei alm IZaak Djajus Umboh Rawung menjadi kintal sekkolah milik S.R. GMIM Tondei. Pada tahun 1945 dan 1946 kintal itu dipergunakan sebagai lapangan olahraga. Pada tahun 1947 kintal itu dibersihkan selurunya dan pada tahun 1948 mulai dibangun gedung S.R. GMIM. Pada peresmian gedung sekolah itu di tahun 1950 kepala Distrik Amurang didampingi Hukum Tua Tondei Herling Lumenta menyerahkan gedung sekolah besama kintalnya kepada kepsek I.D.U. Rawung untuk dipergunakan. Pada tahun 1957 atas usaha kepada S.R. GMIM Tondei yang menghubungi pemerintah Daerah Minahasa melalui kepala distrik Motoling Lengkei dijanjikanlah bantuan untuk pembangunan gedung S.R. GMIM Tondei, bantuan pertama yang diberkan adalah 10 lembar seng dan beberapa pulu drum aspal untuk lantai gedung sekolah. Pada tahun 1957 tanggal25 November diadakan peletakkan batu pertama bagi pembangunan gedung itu, tepat di hari ulang tahun S.R. GMIM Tondei yang ke-44. Turut meletakkan batu pertama:
• C. Bujung Kepala S.R. GMIM Tondei
• H. Lumenta sebagai Hukum Tua Tondei
• A. Lumapow sebagai guru jemaat GMIM
• L. Bella (kemudian hari menjadi Drs. L. Bella)
• Ny. A.J. Bujung-Moningka sebagai guru S.R. GMIM Tondei
Untuk memimpin pembangunan gedung ini oleh pemerintah distrik Motoling dikirim 2 tukang dasri Motoling yang gajinya ditanggung oleh pemerintah. Bahan-bahan seperti kayu, pasir, batu dan sebagainya disediakan oleh rakyat Tondei. Saying pembangunan gedung ini tidak dapat diselesaikan akibat perang saudasra atau lazim disebut “pergolakkan permesta”. Pada tahun 1959 dan 1960 sebahagian rakyat Tondei diungsikan ke Raanan Baru, termasuk guru-guru dan sebagian besar murid-murid S.R. GMIM Tondei. Baik guru maupun murid semuanya ditampung di S.R. GMIM Raanan Baru. Untuk menjaga agar nama S.R. GMIM Tondei jangan terhapus atau hilang dari daftar sekolah-sekolah, maka Kepala SEkolahnya memohon ijin kepada kepala pejabat pendidikan daerah Minahasa di Manado untuk membuka S.R GMIM Tondei dalam pengungsian di Raanan Baru. Perjalan ke Manado melalui daratan tak mungkin karena berbahaya. Yang ditempuh ilah melalui jalan laut. Di manado permohonanna itu diluluskan. Setiba kembali di Raanan Baru maka paa tanggal 25 November 1960 pada HUT S.R. GMIM Tondei yang ke 47 dibukalah S.R. GMIM Tondei dalam pengungsian dengan kepala sekolah tetap C. Bujung dan guru-guru pembantu: Ny. A. J. Bujung-Moningka, Ny. O. Sual-Ngion, D.L. Sumangkut, dan M. Sual. Sekolah berjalan terus hingga masa penyelesaian. Masa pergolakan berakhir dan pada akir tahun 1961 rakyat Tondei yang telah mengungsi di Raanan Baru kembali pula ke Tondei. S.R. GMIM Tondei yang telah diungsikan ke Raanan Baru embali pula dihidupkan di Tondei. Gedung yang semerntara dibangun ketika pergolakan dan terbengkalai karena perang kini tinggal rang-rangkanya sebagian besar sudah lapuk. Hingga tahun 1970 SD GMIM memakai gedung darurat. Pada tahun 1971 gedung SD GMIM mulai dibangun dan dianggap selesai tahun 1975. pada tahun 1982 kantor SD GMIM Tondei selesai dibangun. Guru-guru yang menghidupkan kembali SD GMIM Tondei sekembalinya dari pengungsian adalah:
• C. Bujung kepala sekolah
• Ny. A.J. Bujung-Moningka pembantu
• Ny. O.M. Sual-Ngion pembantu
• M. Sual pembantu
• D.L. Sumangkut pembantu

SMP KRISTEN TONDEI
Majelis jemaat GMIM Tondei periode 1982-1986 melihat kenyataan bahwa:
• Sangat kurangnya anggota masyarakat Tondei yang berpendidikan menenganh, apalagi yang berpendididkan tinggi sehingga emreka yang meyandang gelar sarjana masih dapat dihitung dengan jari.
• Demikian banyaknya murid lulusan SD menjadi siswa SMP di Motiling, Paku Ure, Amurang, Raanan Baru, malahan di Tompaso Baru dan Manado, tetapi banyak yang putus sekolah dan sedikit atau kurang yang meneruskan pelajarannya ke sekolah lanjutan tingkat atas dan sekolah tinggi.
Menyadari penyebabnya antara lain:
• Anak lulusan SD yang berusia 12 atau 13 tahun kebanyak mersa berat meninggalkan orang tuannya menjai murid SMP di negeri yang jauh dari orang tuannya apalagi yang dimanjakan oirang tuannya. Kerinduan kepada orang tua memaksa sering bolos untuk kembali ke kamung, lebih-lebih tempak ia mondok ia diperhdapkan dengan peraturan-peratuan dan pembatasan-pembatasa yang tak pernah dialaminya di arumahnya. Banyak bolos yang menuju ke putus sekolah.
• Bahsa dalam umur sekian masih sangat diperlukan kontrrol langsung dari orang tuanya, lebih-lebih pada jam-jam di luar sekolah. Kebanyakkan mereka lekkas terpengarauh oleh lingkungannay yang baru. Jam sekolah menjadi jam bolos, uang SPP menjadi uang pembeli rokok, pengangna dan sebagainya. Akhrinya putus sekolah.
• Dll
Majelis jemaat GMIM berkesimpulan, bahwa untuk mengatasi hambata-hambatan ini dirasa perlu untuk mendirikan satu SMP Kristen di Tondei. Ketua Jemaat GMIM Tondei bapak C. Bujung sesuai dengan tugas yang dipercayakan Majelis Jemaat, menghubungi instansi-instansi yang berwenang dan kepala dinas pendidikan dan persekolahn GMIM di Tomohon. Mereka yang dihubungi menyatakan persetujuannya. Kepala kantor depdikbud kecamatan Motolig, bapak H.F. Sondakh memberikan dorongan, penjelasan demi mempercepat terlaksananya cita-cita ini. Dalam suatu kesempatan sesudah ibadah oleh ketua jemaat dijelaskan kepada jemaat sebab dan tujuan mendirikan SMP Kristen Tondei di tengah-tengah jemaat GMIM Tondei. Sambutan Jemaat sangat menggembirakan. Pada bulan Mei 1982, dibuatlah surat permohonan secara resmi kepada kepala dinas pendidikan dan persekolahan GMIM di Tomohon yang ditandatangani masing-masing oleh C. Bujung sebagai8 ketua jemaat dan bapak H.B. Sondakh sebagai sekretaris jemaat GMIM Tondei. Dan dibawa sendiri ke Tomohon oleh ketua jemaat. Sementara itu jemaat sedang giat membantun gedung sekolah. Gedng yang sedang dibangun semua direncanakan untuk TK kini dibangun untuk SMP Kristen dengan ukuran 21x7 m, terdiri atas tiga bilik dengan bentuk permanent.
Pada bulan agustus 1982 diterima surat keputusan dari kepala dinas pendidikan dan persekolahan GMIM yang bertanggal 30 Juni 1982, no 2430/K/H/V/6-82, anata lain isinya: terhitunga mulai tanggal 1 Juli 1982 di jemaat GMIM Tondei desa Tondei Kecamatan Motoling Dati II Minahasa didirikan atau dibuka sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) Kristen Tondei.
Datangnya SK ini lebih memperbesar semangat jemaat dalam menyelesaikan pembangunan gedung SMP> dalam bulan Januari 1983 gedung SMP selesai dibangun dan pada bulan Februari digiatkanlah pembuatan perlengkapan SEkolah(meja, bangku dan sebagainya) semua rampung pada bulan April 1983 dan pada bulan berikutnya atas bantuan Pimpinan SMPK Motoling diadakan testing bagi calon-calon murid kelas satu SMPK Tondei. Atas usul ketua jemaat GMIM maka kepala Dianas Pendidikan Persekolahan GMIM mengangkat melalui surat-surat keputusan saudara-saudara
• Joppy Sondakh sebagai kepala SMP Kristen Tondei
• Herdy Bella, BA sebagai guru pembantu
• Djery Tuuk sebagai guru pembantu
Pada tanggal 18 Juli 1983 gedung SMPK ditahbis dalam suatu ibadat jemaat dipimpin oleh ketua sinode GMIM diwakili oleh wakil sekum sinode dasn pada hari tiu juga berdirinya smp Kristen tondei dresmikan oleh bapak kakandep dik bud kecamatan motoling bapak H.F. Sondakh. Siswa-siswi SMPK yang pertama berjumlah 23 orang. Gaji guru-guru bahkan seluruh pembiayaan SMP ini ditanggung oleh jemaat GMIM. Pada bulan Oktober 1983 jemaat GMIM mulai membangun lagi dua bilik tambahan,satu bilik untuk kantor dan satu bilik untuk perpustakaan SMPK Tondei. Jadi gedung SMPK Tondei sekarang memiliki lima ruangan dengan perincian, tiga ruangan belajar, satu ruang untuk kantor sekolah, dasn satu ruang untuk perpustakaan.
Pada akhir bulan Desember 1983 kedua bilik itu sudash selesai. Besarnya gedung menjadi 35x7 m bentuk permanent. Pembangunan gedung SMPK Tondei sudah menelan biaya sebesar ± 11 juta rupiah, swadaya murni jemaat GMIM Tondei. Hingga sekarang sekoklah berjalan dengan baik, jumlah guru 7 orang dan jumlah siswa yang terdaftar 31 orang diantaranya ada beberapa siswa dari jemaat Pantekosta.
Pada HUT SMPK Tondei yang pertama tanggal 18 Juli 1984 seorang guru pegawai Negeri ditempatkan pada SMPK Tondei. Pada tahun-tahun berikutnya ditempatkan pula beberapa Pegawai Negeri, sehingga pada tahun 1987 jumlah guru Pegawai Negeri menjadi 6 orang.
Karena jemaat GMIM Tondei sebagai pengasuh SMPK Tondei dan guru SMPK Tondei dapat memenuhi beberapa persyaratan, maka pada tanggal 22 Desember 1987 SMPK Tondei diakreditasi menjadi sekolah yang statusnya “ diakui” .
Pada tahun 1988 SMPK Tondei sudah dapt melaksanakan EBTA/EBTANAS sendiri.
Demikianlah adanya sekolah-sekolah yang dikelolah oleh jemaat GMIM Tondei dewasa ini. Sekolah yang tertua di desa ini ilah SD GMIM yang diresmikan berdirinya pada tanggal 25 November 1913. dalam usianya yang sudah 70 tahun, sekolah itu sudah dipimpin berturu-turut olehy kepala sekolah:
1. K. Palapa (..-1913) status sekolah; swasta penu asuhan jemaat Kristen Protestan setempat.
2. J. Salangka ( 1913-1918) status: swasta bersubsidi asuahan: NZG
3. G. Kumolontang ( 1918-1920)
4. K.H. Sahensolar (1920-1925)
5. I.D.U. Rawung (1925-1946)
6. H. Limpele (1946-1950)
7. I.D.U. Rawung (1950-1953)
8. H. Limpele (1953-1954)
9. tak ada kepala sekolah (1954-1955)
10. C. Bujung (1955-1960)
11. C. Bujung (1960-1961) dalam pengungsian di Raanan Baru pada masa pergolakkan permersta
12. C. Bujung (1961-1978) pada akhir 1961 sd GMI tondei dikembalikan ke Tondei.
13. Ny. A.J. Bujung-Moningka (1978-sekarang)

TAMAN KANAK-KANAK GPDI “HANA”
Jemaat GPdI telah membangun sebua gedung TK pada tahun 1978. sejak berdirinya TK itu telah dipimpin oelh guru-guru yang ditunjuk oleh jemaat setempat. Kini TK tersebut telah mendapat dua orang guru dengan SK pemerintah.

SEKOLAH DASAR GPDI
Pada masa gembala Petrus Wowor memimpin Jemaat GPdI Tondei, didirikanlah sebuah gedung sekolah darurat untuk anak-anak jemaat Pantekosta yang mula-mula diberi nama “ SD DIKRISPA” dan kemudian hari disebut SDGP. Pada tanggal 12 Februari 1968 sekolah itu dibuka. Pada tanggal itu ± 100 orang murid SD GMIM yang berasal dari jemaat Pantekosta meninggalkan SD GMIM dan menjadi murid-murid pertama dari SDGP yang baru didirikan itu. Karena sekolah itu berstatus swasta penuh, maka pengadaan perlengkapan, pengangkatan maupun pembanyaran gaji guru-guru ditanggun oleh jemaat itu sendiri. Dua tahun lamanya jemaat membiayai sekolah itu. Sebagai kepala sekolah SDGP diangkat oleh jemaat Pantekosta saudara N. Pangaila. Nantu pada tahun 1970 ditempatkan di SDGP seorang guru pemerintah sebagai kepala sekolah yakni Almarhum E. Onibala.
Pada mulanya SDGP mempergunakan gedung darurat yang didirkan disamping kanan gedung gereja. Pada tahun 1960 dimulailah pembangunan gedung sekolah diatas sebuah kintal yang disediakan jemaat sebagai kintal sekolah. Gedung itu selesai dibangun pada tahun 1973. pada tanggal 7 November 1973 dalam suatu acaragedung itu diresmikan oleh bupati KDM Tkt II Minahasa Bupati Lumentut (F. Lumentut, Penulis)
Berturut-turut SDGP sudah dipimpin oleh kepala-kepala sekolah:
1. N. Pangaila (1968-1970) guru yang diangkat oleh jemaat.
2. E. Onibala (1970-1980) guru pegawai negeri
3. J. Palapa (1980-1982)
4. H. Paat (1982-1984)
5. Ny, S, Lumenta-R (1985-1987)
6. Punuh (1987-…)
7. D. Umboh (1987-sekarang)

SD INPRES
Gedung SD Inpres dibangun pada permulaan tahun 1982. pada tanggal 28 Juli 1982 SD Impres itu dibuka dengan resmi oleh Kakandep Dik Bud kecamatan Motoling, Bapak H.F. Sondakh. SD itu mulai dengan kelas 1. kepala sekolah: J. Palapa dengan guru pembantu 3 orang.
Banyak murid di tiap sekolah:
1. SD GMIM 225 orang
2. TK GMIM Dorkas Tabita 30 orang
3. SMP Kristen GMIM 140 orang
4. SDGP 146 orang
5. TK GPdI Hana
6. SD INpres 122 orang

Pendidikan di Tondei mengalami kemajuan dari waktu ke waktu
Kepala-kepala sekolah:

1. SD GMIM

1) Israel D. Umboh Rawung
2) Hanes Limpele
3) Cyrus Bujung
4) Adolfin Moningka
5) Hans S.K. Limpele, S.Pd
6) Jetje J. Timporok, S.Pd

2. SD GPdI

1) Bernard pangaila
2) Eli Onibala
3) Stince Rindorindo
4) San Ong Pangaila
5) Ireine Waladow

3. Kepala SD INPRES Tondei

1) Johny M. Palapa
2) M. Sumarap
3) Stela Ratna warouw

4. SMP KRISTEN 19 Tondei

1) Jopi W. Sondakh PEJABAT KEPALA SEKOLAH
2) Herdi Bella, BA (pejabat)
3) Rein Paat (Kepala sekolah defintif)
4) Hans. S.K. Limpele, S.Pd (1995-sekarang)

5. SMK Negeri Kelas Jauh Tondei
a. Anes S.Pd

Orang-orang Tondei yang menjadi guru/pegawai:
Hanes Limpele
Israel D. Umboh Rawung
Cyrus Bujung
Adolfin Moningka
H.S.K. Limpele, S.Pd
H.B. Sondakh
Herdy Bella, B.A
Jony Palapa
Iswan Sual, S.S
Johnwane Palapa
C.A.C. Bujung, S.Pd
Harry Rawung, Se
Hanny Limpele. Se
Ineke Sumangkut. S.Pd
Franky Lumapow, Se
Rima Mantik
Decky Bella
Helly Paat
Beny Kewas
Polin Sual
Irma Sual
Frintje Muntu-Untu
Jetje Rawung
Meidi Legi
Olly Legi
Lidia Legi
Moses Legi
Admi Sumangkut
Indra Kawengian
Sintia Lumapow
Siske L. Langi
Noly Sumangkut
Tetty Kordak
Stintje Oping
Jetje Timporok
Cao Sengkey
Meike Tumanduk
Novke Sumangkut
Betty Kawengian
Eveline Awengian
Sherly Tamba
Olviane Bella
Netin Sondakh
Ireine Waladow
Stintje Oping
Jonny Sumangkut
Nikson Onibala
Refli Tamba
Netje Bella
Hence Sondakh
Ani Palapa
Riko Sumangkut
Jopi W. Sondakh
Gustaf F. Tamaka
San Ong Pangaila
Manuel Sual
Ona Ngion
Deitje Sumangkut
Herry Lumowa
Hengky Legi
Deitje Legi
Men Sondakh
Elsye Bella
Djerri Tuuk
Deli Tompodung
Ronny Wagey
Naomi Lampus
Bernard Pangaila
Frists Sumanti
Marthen Saumana
J.L. Tengor
Simon Petrus Kolanus
Meity Karu
Meity Giroth
Johanes Kumayas (Tete Ani)
Hein Legi
Eveline Kumayas
Tamber Tambaani
Yohanis Onibala
Maria Munaiseche

AGAMA DAN KEPERCAYAAN/RELIGI
Sebelum Masuknya Kekristenan
Opo yang dipercaya oleh orang Tondei: Opo Toar Lumimuut, Opo Lolombulan, Opo Sininsayang, Opo batu Binangkan, dan opo orang-orang tua yang diyakini seperti Opo Sual, Opo Muntu-untu dan Opo Wongkar. Setelah dengan keyakinan alifuru oleh Penolong yang berada di Motoling membawa injil ke Tondei mengakibatkan penduduk Tondei mulai menyadari bahwa keyakinan atau kepercayaan kepada opo-opo tidak begitu menjamin keselamatan baik tubuh maupun roh manusia.
Keyakinan sebelum ada kekristenan adalah animisme/alifuru. Percaya burung manguni sebagai tanda. Seperti manguni makasiow. Bunyi burung manguni makasiow menandakan bahwa masyarakat memperoleh berkat atau dalam keadaan aman. Bunyi manguni satu kali keras manandakan bahaya. Bunyi manguni yang agak lemah menandakan kematian.
Mawaru ni obat?
Bagi yang mempunyai kepercayaan opo-opo/hobatan, setiap bulan mengadakan suatu upacara dalam istilah bahasa Tontemboan: meru ‘I nubat’ artinya mengadakan upacara pembaharuan atau pembersihan obat yang kemungkinan akan menjadi jahat atau rusak. Upacara tersebut diadakan pada bulan purnama setiap bulan. Dengan dihadiri oleh penderita-penderita penyakit bersama dengan mereka itu yang berkaitan memegang pegangan atau opo-opo. Dalam upacara tersebut orang-orang yang mengidap penyakit diobati oleh tonaas atau orang yang menjadi pusat memegang opo-opo atau hobatan. Dan orang-orang yang diobati menjadi sembuh dari penyakitnya. Terkecuali oleh pencipta/Tuhan Allah sudah mengkodratkan untuk meninggal. Dan sering pemegang atau pusat pemegang opo-opo tersebut dalam kemasyarakatan sering dianggap oleh masyarakat adalah yang disanjung atau dihormati sebagai penolong setiap orang atau masyarakat merasa diobati.
Dalam masyarakat Tondei dikenal dua macam pegangan atau wentel/bentel (jimat): baik dan jahat. Yang baik disebut wentel lo’or. Sedangkan yang tidak baik disebut wentel ca lo’or. Orangnya disebut sebagai ma’diara/ma’riara.
Sebelum kekristenan melekat dan tertanam dalam masyarakt Tondei, dulu orang banyak mengandalkan wentel untuk mempertahankan hidup dalam peperangan, keberuntungan, perdagangan, penyakit.
Pada waktu perang orang-orang memerlukan wentel supaya mereka memperoleh kekebalan tak tembus oleh peluru atau terbunuh oleh musuh atau orang jahat.

Nama-nama dukun yang dikenal di Tondei:
Hero Timporok
Beliau dikenal banyak membantu meyembuhkan orang sakit. Dan bantuan yang paling menyolok yang senantiasa diingat orang terjadi ketika masa pergolakan atau perang permesta. Banyak tentara dari dalam dan luar Tondei yang meminta beliau supaya memberikan “pegangan” atau jimat sebagai pelindung diri supaya tidak mati konyol dalam perang atau serangan orang jahat.
Konon orang yang datang kepadanya diberikan jimat dalam bentuk benda-benda tertentu seperti kain merah dan hitam yang diikatkan di lengan, kepala dan perut. Hal ini diikuti dengan “mandi kabal” atau suatu proses dimana dia membuat supaya orangnya tidak bisa dipotong atau ditusuk. Dia akan enjadi kebal. Setelah upacara selesai, biasaya diikuti dengan ujian atau tes kekebalan. Si Hero akan memberikan instruksi supaya orang yang sudah diberi jimat tersebut tidak menoleh lagi ke belakang. Sebelum keluar orang yang diberi jimat akan dipukul atau diserang dengan senjata tajam.
Konon, Hero meninggal dengan tenang. Tidak karena sakit. Dia bahkan sudah tahu dia akan meninggal. Dia meninggal pada saat dia tidur. Sebelum dia meninggal dia berpesan supaya jangan seorangpun dari anak-anaknya mengambil jimat-jimat yang dia tinggalkan. Termasuk gelang yang disebut Kama Silang. Menurut salah seorang informan yang juga adalah murid dari si Hero bahwa Kama Silang bisa terlepas dari tangan dengan sendirinya. Dan jika sudah terlepas berarti ada pesan dan peringatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tapi, ada satu orang yang tidak mengindahan pesan dari

SETELAH MASUKNYA KEKRISTENAN
Penolong yang datang mengabarkan injil mengangkat atau menunjuk satu orang atau lebih pembantu penelong untuk datang mengajarkan injil kepada anggota masyarakat sebagai jemaat agar memudahkan penelong dalam mengunjungi jemaat di kampung-kampung. Dengan maksud tersebut maka yang diangkat atau ditunjuk oleh penelong membantu pekabaran injil di Tondei dinamakan guru jemaat. Dan di Tondei waktu itu masih berdiri satu golongan agama yaitu kristen Protestan sampai dengan tahun 1929. Kemudian akhir tahun tersebut, masihlah satu agama Kristen protestan Pinkster yang dibawa oleh pendeta Jan Lumenta. Dan sekarang Pinkster itu sudah menjadi GpdI. Kemudian tahun 1999 masuk lagi satu agama Roma Katolik di Tondei yang diketuai oleh G.F. Tamaka. Tahun 2006 GMIM IMANUEL Tondei memekarkan satu jemaat yaitu Jemaat GMIM Bukit Moria Tondei Satu.

Sepanjang penuturan perintis-perintis pembangunan desa Tondei bersama rombongannya yang merupakan penduduk mula-mula desa ini sudah memeluk agama Kristen. Tetapi mereka belum melepaskan sama sekali kebiasaan-kebiasaan kafir. Hal ini nyata pada pembukaan desa Tondei. Mereka masih memerluhkan isyarat baik dari burung manguni untuk menentukan tempat desa yang baik. Tetapi lama-kelamaan kebiasaan-kebiasaan kafir itu mulai ditinggalkan akibar kegiatan pekabaran Injil olehy pelayan-pelayan gereja yang setia dan berani.
Di tondei hingga hari ini sudah terdapat 5 golongan gereja:
1. GMIM (GEREJA MASEHI INJILI DI MINAHASA)
2. GPDI (GEREJA PANTEKOSTAS DI INDONESIA)
3. KGBI (KERAPATAN GEREJA BAPTIS INDONESIA)
4. RK(TOMA KATOLIK
5. GPSDI (GEREJA PANTEKOSTA SERIKAT DI INDONESIA)
SEJARAH PERKEMBANGAN GMIM
Sejak berdirinya desa Tondei (1908) hingga pada tahun 1929 di Tondei hanya da satu golongan gereja saja, yakni Gereja Protestan “Indische Kerk”.
Pada tahun 1934 tanggal 30 September 1934) GMIM memisahkan diri dari Indische Kerk dan memproklamasikan dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri. Jemaat Kristen Protestan Tondei mulailah disebut GMIM. Keadaan jemaat pada pembukaan Desa Tondei (1908) ± 40 kepala keluarta
1950 ± 180 kepala keluarga
1954 ± 200 kepala keluarga
1981 ± 330 kepala keluarga
1985 ± 353 KK dan ± 1700 jiwa=11 kolom
Berturut-turut jemaat GMIM telah dipimpin oleh pelayan-pelayan:
• K. Palapa, guru sekkolah dan guru jemaat (1908-1913)
• J.S. Salangka kepala SD dan guru Jemaat (1913-1918)
• G. Kumolontang, kepala SD dan guru jemaat (1918-1920)
• K. Sahensolar, kepala SD dan guru jemaat (1920-1925)
• I.D.U. Rawung kepala SD dan guru jemaat (1925-1930)

Tempat ibadah jemaat Gmim
Jemaat GMIM mulai membangun gedung gereja pada tahun 1976 dengan swadaya murni jemaat. Besarnya bangunan adalah 23x10 m, permanent dan sudah menelan biaya ± Rp 40.000.000. gedung itu selesai dibangun pada tahun 1979 dan ditahbiskan dalam suatu ibadah jemaat yang dipimpin oleh ketua sinode GMIM pada 24 Agustu 1980.sebelumnya gedung itu sudah diresmikan oleh Bupati KDH II Minahasa pada tanggal 13 Desember 1979.

Tempat ibadah jemaat GPdI
Gedung gereja jemaat GPdI selesai dibangun pada akhir tahun 1983. ukuran 24x12 m bentuk permanent dan telah menelan biaya kurang lebih 50 juta rupiah. Gedung itu udah ditahbiskan dalam suatu ibadah jemaat dengan dihadiri oleh gubernur dati I Sulawesi Utara.

Tempat ibadah jemaat RK
Gedund gereja umat katolik bentuk permanent masiy sementara dibangun tetapi sudah dapat digunakan untuk beribadah.
Tempat ibadah jemaat KGBI
Jemaat kgbi sudang membangun gedung gerjanya bentuk semi permanent dan sudah dapat dipergunakan untuk acara ibadah jemaat.

KESENIAN
Bagaimana dengan kesenian? Tarian? Lagu daerah ciptaan orang tondei?
Kumpulan-kumpulan kesenian di desa ini hanya aterdri dari kaum Ibu, Pemuda, dan Bapa GMIM. Demikiran juga dari jemaat GpdI. Juga ada grup vocal pemuda GMIM dan Pantekosta.
Dulu di sekolah berkembang kesenian maengket di sekolah. Ada juga poco-poco dan sekarang ini caka-caka.

TRADISI/ADA ISTIADAT
Orang-orang tua dulu kurang memperhatikan penanggalan,. Misalnya tentang kelahiran anak. Bila seroang anak lahir, maka saat kelahiran itu selalu dihubungkan dengan sesuatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu agar tidak mudah dilupakan. Jika ditanya tanggal berapa anak lahir , maka jawaban yang diperoleyh, bukan tanggal berapa anank lahir,maka kawaban yang diperoleh, bukan tanggal atau bulan yang tepat. Oang akan menjawab bahwa kelahiran anaknya bertepatan dengan perombakan hutan di suatu tempat atau bertepatan dengan kunjungan seorang pembesar di desa itu atau dengan ditanamnya sesuatu pohon. Dengan demikian penentuan umur orang-orang dahulu hanya berdasarkan perkiraan belaka.

Tentang perkawinan
Perkawinan di tondei dari dahulu hingga sekarang terjadi sebagai berikut:
1. muey (melamar)
si teruna mengirim surat pada si gadis pilihannya tentang cintanya pada gadis itu atau menyampaikannya secara lisan. Jika ia malu berhadapan langsung atau tidak tahu menulis, dipakainya seorang pengantara. Jika lamaran tiu diterima, maka terciptalah suau hubungan percintaan antara keduanya.
2. tumindondor-moweh (berdiri berhadapan langsung dengan orang tua gadis dan memberitahukan hal percintaan mereka)
siteruna baik langsung atau melalui seorang pengantara melapor kepada orang tua si gadis hal perhubungan cinta antara si teruna tersebut dengan si gadis. Bila hubungan itu direstui oleh kedua orang tua si teruna dan si gadis maka menyusul hal yang berikut
3. tumantu, tumerang (menentukan atau memohon penjelasan selanjutnya)
orang tua si teruna langsung atau melalui seorang pengantara membicarakan dengan orang tua si gadis tentang kelangsungan hubungan kedua anak mereka, tentang mas kawin dll yang brhubungan dengan pernikahan anak mereka. Bila telah ada persesuaian dalam segala hal, maka menyusul pula hal beriktu
4. tumuruk (antar harta/peminangan)
orang tua pihak teruna dengan kaum keluargannya berangkat ke rumah orang tua gadis. Di rumah si gadis juga sudah menanti seluruh keluarga orang tua si gadis. Terjadilah percakapan melalui wakil mereka menyerahkan “harta kawin” ekpada orang tua si gadis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati waktu “tumerang” maka resmilah pertunangan mereka. Acara tukar cincin dapat dilaksanakan bila pihak teruna menyediakannya.
5. sumampet (rencana atau cita-cita tercapai)
menyusullah pernikahan melalui petugas gereja atau petugas pemerintah. Kebiasaannya pihak orang tua gadislah yang pertama-tama mengadakan pesta nikah.. kemudian pihak orang tua teruna mengadakan pula pesta pernikahan. Pada kesempatan itulah mempelai wanita diantara ke rumah mempelai pria disertai oleh seluruh keluarga kedua belah pihak. Dalam cara pesta pernikahan biasanya disuguhkan pidato-pidato nasihat kepada kedua mempelai sebagai bekal hidup berumah tangga.
Dengan “sumampet” maka tercapailah cita-cita si terurna dan si gadis untuk hidup bersama-sama sebbagai suami istri. Sesudah menikah mereka dapat memilih 1) tinggal dalam rumah sendiri-lepas dari tanggungan orang rua. 2) tinggal di rumah orang tua laki-laki atau perempuan sebelum mereka dapat mendirikan rumah sendiri.
Di Tondei orang berpandangan, bahwa si suami adalah kepala rumah tangga dan si istri afalah bendahara rumah tangga. Pernikahan terjadi atas dasar suka sama suka. Tak ada kawin paksa.

PERISTIWA KEMATIAN
Pada peristiwa-peristiwa kematina kerukunana nampak menonjol. Keluarga yang berduka cita mendapat bantuan bahan makanan, uang dan sebagainya dari masyarakat. Hal ini dipelopori pemerintah desa dan pimpinan gereja. Pada hari minggu pertama sesudash peristiwa kedukaan, semua anggota masyarakat berkupul di rumah keluarga yang berduka untuk makan siang bersama-sama dalam rangka menghibur kelaurga yang berduka. Semua yang datang membawa makanan sendiri. Hal ini dimaksudkan agar yang berduka cita tidak lebih diberatkan bebanya dengan menyediakan makanan bagi mereka yang datang berkumpul di rumahnya.
Kini di Tondei telah dibentuk puluhan “rukun” yang bertujuan memberi bantuan baik berupa uang tau beras dan sebagainya. Pada anggota ang mengalami peristiwa kedukaan. Juga da rukun jaga yang dikendalikan oleh kepada jaga dan mewetang.
Suatu kebiasaan dahulu yang bisasa dilakukan ialah perayaan tiga malam semua anggota keluarga atau sebahagian dari masyarakat berkumpul di rumah keluarga yang berduka untuk makan bersama-sama. Acara ini diadakan berdasarkan kepercayaan bahwa pada malam ketiga jiwa dari si mati bangkit dari kubur dan mulai beredar-edar mengunjungi keluargannya di semua tempat yang pernah dikunjungingya semasa hidupnya. Beralas pada kepercayaan itu maka kelauarga yang berduka pada waktu maka atay mium meletakkan di ujung meja sebuah piring kecil bverisi nasi sedikit ikan atau telur untuk “dimakan” oleh jiwa dari yang baru meninggal. Bila jiwa itu datang berkunjung, hal ini disebut “ma’umper atau ma’belet”. Inii dilakukan selama 40 hari, 40 malam lamanya. Kadang-kadang pada peringatan tiga malam diundang juga seorang dukun dengan maksud akan mendengarkan pesan-pesan orang yang baru meninggal. Dukun itu disurupi roh orang mati sehingga tidak sadarkan diri lagi. Mulailah ia berkata-kata meyampaikan pesan-pesan kepada keluarganya. Suara sama benar dengan suara orang mati itu, semasa ia masih hidup.
40 harikemudian dasri kematian seseorang diadakan pula peringatan 40 malam berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa orang meninggal itu akan meninggalkan dunia ini menuju tempat yang disediakan baginya. Jiwa orang yang semasa hidupnya hahat akan panda ke gua-gua, ke batu batu besa ke mata air dan tau ke pohon-pohon besar sebagi roh jahat atau hantu. Kerjanya mengganggu dan mencelakakan orang yang melintasi tempat mereka yang angker itu. Jiwa orang yang semasa hidupnya selalu berbuat baik meninggalkan dunia ini pindah kalam “ka-ka-puan atau karawisan” tempat “samak” yang disediakan untuk mereka. Lama-kelamaan kaerna pengaruh agama Kristen dan berkat pelayanan injil yang mantap peringatan tiga malam dan 40 malam berangsur lenyap.

Upacara adat lainnya seperti kedukacitaan. Bilamana ada yang meninggal dunia maka dianggap roh dari orang mati belum langsung naik ke surga. Oleh karena itu setiap ada kedukacitaan, maka di rumah duka bagian dalam kamar di lantai ditaburkan bahan berupa tepung. Karena menurut kepercayaan budaya waktu itu bahwa orang yang sudah meninggal itu sering datang dan bukti kedatangannya diamati oleh keluarganya melalui bekas kaki di lantai yang tertabur tepung. Upacara kedukacitaan dipimpin oleh guru jemaat atau penelong yang sekarang disebut sebagai pendeta.

MENABUR PADI (kumelod)
Berladang dilakukan secara alamiah. Tonaas atau kepala perkampuangan menentukan waktu yang baik untuk merobak hutan dan daerah hutan mana yang akan dirombak untuk diperkebuni. Hal ini dilakukan di musim panas jadi sekirtar bulan juli dan agustus. Petani-petani membntuk Ma’ando atau mapalu. Bila komando telah diberikan, menyerbulah mapalus-mapalu ke lokasi yang telah ditunjukkan oleh Tonaas atau Hukum Tua. Kay-kayu ditebang, rumput-rumput dipangkas dan stelah kering dibakar. Karena hal ini dilaksanakan pada musim panas, maka hampir semua kayu yang ditebang dan rumput-rumput terbakar, tinggal abu-abusnya. Maka tibalah saatnya menabur,. Menabus padi dikerjakan jug adengan bermapalus. Bilah benih padi telah bertumbuh dan mulai berbuah, maka kebun itu tidak booleh lasit dilalui oleh orang-orang yang sedasng memikul buluh yang baru ditebang. Menurut cerita orang-orang tua jika pantangan ini dilanggar ti8kus-tikus akan menyerbu kebun itu dan merusakan tanaman padi di dalamnya.
Bila panen tiba, yang empunya kebun mengudnang sanak saudsra dan handai tulan pemuka masyarakat dan sebahagian penduduk untuk beramai-ramai menuai padi. Pada peristiwa ini diadakan pesta penuaian oleh tuan kebun. Sementara menuai diperdengarkanlah nyanyian tua, kidung-kidung rohani atau wa-oweinya, pada waktu makan diperdengarkanlah pula pidato-pidato oleh pimpinan desa dan gereja, bila mereka diundang pada penuaian itu. Pessta itu dilakukan di tempat penuaian, kadang-kadang sesudah menuai, masih ada keluarga ang mengakan peseta “ makan pada baru” atau kuman im beru”. Bila penuaian sudah berlalu, maka pada pertengahan tahun orang mengadakan “ pengucapan syukur penuaian” atau “syukur pungutan”.
PENGHORMATAN APO-APO
Apabila orang membicarakan nenek moyangnya, mereka menyebutnya dengan sapaan “apo”. Lain pula pengertiannya kalau mereka menyebut opo-opo yang lebih murni artinya dewa-dea. Masih terselip kepercayaan pada sebahagian masyarakat tentang adfanya opo-opo yang berdiam di tempat tertentu. Orang harus belaku sopan dan harus berdehem bila melewati kuala, mata air, gua-gua. Kubur-kubur, dan tempat-tempat sunyi yang dianggap sebai tempat tinggal opo-opo. “berdehem” dapati diartikan sebagai permisi dan minta jalan untuk melewati tempat itu.

TANDA-TANDA BUNYI BINATANG
Bunyi burung manguni atau wala, belalang, cicak, dan kokosit dianggap sebagai tanda pemberitahuan dari opo-opo tentang adanya bahaya yang mengancam atau kemujuran yang sedang mendatang.
Bunyi kucing yang sedang bercumbu-cumbuan dengan “kekasihnya” yang kedengaran sebagai menangis dianggap sebagai pemberitahuan dari opo-opo, bahwa salah seorag kerabat akan mati dalam waktu dekat. Suara buru kerok melewati kampung juga adalah tanda. Bila terjadi hujan panas juga menandakan yang demikian juga. Kupu-kupu indah datang ke rumah dianggap akan ada tamu. Anjing munta-munta sebarangan di rumah. Mata berkedip akan menangis. Tangan terasa gatal. Perasaan tak enak. Memaki topi saat makan. Jongkok di depan rumah. Duduk di atas pagar. Kata-kata kotor (sembot, puki, pendo, lawut, peret akhir-akhir ini, cuki, warut, pemai, babi, anjing, yakis, penuadang, nga’as pelah.
Bila orang bersin pada saat seorang akan membuat perjalanana atau memulaikan suatu usaha, ia harus mengurungkan waktunya. Burung, kucing meneybrang jalan.sebab jika tak demikian, ia akan menemui kegagalan atau sesuatu marabahaya.
Berkat penginjilan yang bersungguh-sunggu dari para pelayan gereja maka penghormatan pada opo-opo dan kepercayaan pada tanda-tanda bunyi binatang berangsur-angsur lenyap.

UPACARA-UPACARA ADAT
Upacara adapt tidak ada yang menonjol. Pelantikan Hukum TUa yang terpilih dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Penyammbutan tamu agungpun dilaksanakan seperti kebiasaan pada umumnya, yakni dijemput di ujung kampung, pengalungan bunga dan sebagainya.

KEPURBAKALAAN
Kira-kira 50 m sebelah selatan desa Tondei Dua dekat mata air terdapat sebuah lesung batu yang besar. Dasarnya tertanam jauh dalam tanah. Tingginya ± 1 setengah mm. pada dindinga luar lesung it terukur pria dan wanita yang sedang menari. Menurut cerita orang tua-tua, benda itu merupakan benda purba peninggaln orang-orang yang pernah bermukin di daeran itu di masa lalu. Di daerah dimana terdapat lesung batu itu disebut orang “Lutau”. Lutau artinya “tembak” pemberian nama ini punya sejarahnya sendiri. Menurut cerita, pada suatu hari di siang bolong tiba-tiba penghuni daerah itu dikejutkan oelh bunyi guruh yang dahsyat bagaikan beratus-ratus meriam ditembakkan pada saat yang sama. Bumi berguncang dan orang-orang ketakutan. Bunyi yang hebat itu dastangnya dari daerah lesung batu.. mulai saat itu daera itu desebut orang “lutau”.

CERITA RAKYAT
Peristiwa upacara pembentukan desa Tondei dengan “Sumering” cerita Mawalw, lesung batu dan lutau dapat juga disebut sebagai cerita rakyat dari Tondei. Mungkin masih ada, tetai krean tidak dibukukan atau tidak dituturkan dari mulut ke mulut, akhirnya dilupakan orang.

KEPARIWISATAAN
Tempat-tempat hiburan tau rekreasi dan sebagainya masa ini belum ada di Tondei. Tetapi boa daerah “lutau” dimana terdapat tempat lesung batu peninggalan purba itu dipugar, kiranya nanti dapat memikat wisatawan-wisatawati luar dan dalam negeri. Dan inipun dapat dimungkinkan bila jalan Motoling ke Tondei diperbaiki dan diberi aspal seluruhnya.

INDUSTRI
Tondei merupakan satu desa penghasil kopra nomor satu di kecamatan Motoling. Hasil cengkihnyapun menanjak pada tiap-tiap musim pemetikan. Maka besa kemungkinan pada waktu mendatang, suatu perusahaan minyak kelapa atau cengkih akan terdapat di desa ini.
Di Tondei berkembang industri rumah tangga seperti pembuatan gerobak (roda sapi) yang ditarik oleh lembuh-yance sondakh, demer sendakh, fence merentek, medi ondang. Umumnya adalah tukang. Idustri pembubutan diusahakan oleh ebi muntu-untu. Mesin dalam pertukangan telah banyak mengalami perkembangan.

PERMAINAN RAKYAT
Permainan rakyat yang masih bertahan hingga sekanr ilah yang disebut “Mareng-i-le-le” yang artinya kembalikan pukulan lidi.
Acara ini dilaksanakan oleh suatu tumpukan mapalus (ma’andor) yang dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut “ma’bali-wali” atau “ke-me-ter” yang didampingi oleh seorang “ merantong” atau “madantong” yang artinya sebagai “hakim” mapalu atau secara kasar disebut “tukang pukul”. Mapalus mempunyai peraturan-peraturan atau undang-undang mapalus yang harus ditaati oleh semua nggora. Jika peraturan itu dilanggar, maka si pelanggai itu diancam dengan hukuman badan. Yakni mendapat cambukan sesuai jenis pelanggaran yang dibuat. Alat cambuk terdiri dari seberkas lidi enau. Tiga atau enam lidi diikat menjadi seberkas. Pelaksana hokum atau “algojo” adalah marantong sendiri. Bersam dengan mba’bali-wali ia menentukan berapa cambukan yang harus diberikan pada si pelanggar. Dalam peraturan atau hokum mapalus itu ditentukan misalnya
1. absent tanpa memberitahu pada ma’baliwali dicambuk 9 kali
2. terlambat tiba di tempat pekerjaan 6 kali
3. bekerja lamban 2 kali
4. mengucapkan kata-kata tak sopan 5 kali
5. bagi koki terlambat menyediakan 3 kali
6. tidak membantu kawan yang lemah dalam barisan kerja 1 kali
7. tidak turut atau bermain sementara dalam berdoa makan 6 kali
sasaran cambukan adalah betis atau bagian belakang badan. Cara memilih ma’baliwali dan marantong kebanyak secara aklamasi. Tugas ma’baliwali adalah memimpin dan menjalankan roda organisasi mapalus itu. Ia adalah penaggungjawab ke dalam dan ke luar. Sebelum mapalus memulaikan tugasnya si marantong, hakim mapalus, harus dinobatkan lebih dahulu. Cara menobatkannya: si marantong berdiri di tengah lingkaran Mapalus. Cambuk yang terdiri dari enam batang lidi enau telah tersedia. Setelah sebuah pidato singkat diperdengarkan ma’baliwali memegang cambuk lalu memukulkannya 3 kali berturut-turut ke betis marantong. Kemudian tibalah giliran seluruh anggota mapalus. Secara bergilir mereka mencambuk betis marantong seberapa mereka mau. Selesai acara ini celana si marantong koyak-koyyak, betisnya berdarah dan bengkak. Penobatan secara ini dimaksudkan aga ia dalam menjalankan tugasnya akan bertindak tegas dan tanpa memilih bulu. Dengan cangkul dan cambuk di tangan dan sambil bekerja ia mengawasi seluruh mapalus itu dan sewaktu-waktu membagi-bagikan cambuk kepada mereka yang melanggar disiplin mapalus. Demikian kerjanya hingga seluruh anggota mapalus telah mendapat sumbangan tenaga mapalus itu. Sebelum mapalus dibubarkan maka diadakanlah suatu acara yang merupakan acara penutup kegiatan organisasi mapalus itu. Maka ditentukanlah suatu hari apda waktu mana cara itu akan diadakan. Semua anggota menyediakan penganan dan air panas the atau kopi, untuk melayani mereka yang akan diundang menghadiri acara itu.
Ditentukan pula di lokasi mana acara penutup ini diadakan. Daerah yang banyak kali dipakai ilah kampung liba. Sebab jalannya lebar dan rata. Banyak kali dalam acara ini diundang pimpinan jemaat dan kepala desa. Berduyun-duyun orang menuju ke lokasi yang sudah ditentukan. Semua ingin menyaksikan permainan ini. Anggota-anggota mapalus berbaris berhdapan. Berdiri di tepi-tepi jalan. Kebanyakkan anggota mapalus pria membungkus betisnya dengan kain tebal. Demikian pula si marantong. Semua anggota mapalus, baik pria maupun wanita memegang seberkas lidi enau. Sebelum cara dimulai ma’baliwali (pemimpin) mengumumkan aturan permainan. Si marantong harus berlari bolak balik dari ujum barisan ke uung barisan yang lain. Tiap kali ia meliwati anggota mapalus yang berdiri dalam barisan, ia menreima cambukan dari kiri dan kanannya sebaba iba menghindari cambukan dengan berlari cepat. Cvambukan-cambukan yang diberikan padanya disebut “mareng I lele” (kembalikan lidi) maksudnya, kalau pada waktu mapalus si marantong banyak memberik cambukan kepada anggota-anggotanya, sekarang pukulan-pukulan itu dikembalikan kepadanya. Permaianan mareng I lele betujuan menghilangkan rasa dendam ia harus berlari hilir mudik higga semua berkas lidi yang dicambukkan kepadanya rusak atau musnah semuanya. Oleh karena betisnya dibungkus dengan kain tebal maka cambukan-cambukan itu tidak sampai melukakan. Sesudah marantong menerima bagianya tibala giliran anggota-anggota saling bercambukan.
Permainan ini ditutup dengan makan minum bersama yang disediakan oleh tiap-tiap anggota mapalus itu. Sekarang jenis permainan ini sudah jarang dilaksanakan orang. Jenis permainan inilain seperti bola kaki, bulu tangkis dan sebagainya juga sangat digemari.
Ada yang lain seperti benteng, benteng kayu, kum-kum, kalia, kuda kayu. Neka. Batu di lubang. Oto bola sonong/palapa, skiping. Pelinggir, lulutau, kasti,

Artefak
Malesung adalah sesuatu benda peninggalan purbakala. Menurut Sual, sebenarnya batu itu bukan di tempat dimana dia berdiri sekarang. Kurang lebih dari 200 dari tempat sebenarnya. Berbentuk seperti lesung. Sekitar 1940 terjadi suatu ledakan yang dasyat di daerah dimana batu lesung tersebut, lalu orang-orang tua yang bermukim di desa mengecek langsung tempat sumber ledakan itu. Setelah dicek, telah terguling sejauh kurang lebih 200m tempatnya semula. Mulai saat peristiwa ledakan yang terdengar itu, orang-orang tua di Tondei menamakan daerah tersebut bernama Lutau. Lutau artinya karena bunyi ledakan yang dasyat itu sehingga lesung seolah-olah ditembakan sehingga lesung itu terlempar dari tempatnya kurang lebih 200M. sebenarnya lokasi itu namanya perkebunan Raanan.

BAHASA DAERAH
Penduduk desa Tondei kebanyakan berasal dari dari suku Tontemboan. Hanyalah beberapa yang berasal dari Seretan Tondano. Sekarang ini, akibat perantauan banyak penduduk yang sudah kawin campur dengan suku sangir, ambon, toraja, bolaang Mongondow bahkan dengan orang luar negeri seperti Rili Wongkar dengan orang Jerman, Venda Sual dengan orang Taiwan, Sual dengan Belanda.

TAMAN-TAMAN
Taman budaya, taman hiburan, taman bunga dan sebagainya belum ada di desa ini. Daerah Lutaw dimana terdapat Lesung Batu yang besar sebagai benda peninggalan purba baik sekali dijadikan taman budaya sebagai objek wisata di kemudian hari.

PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN
Salah satu usaha pemerintah desa untuk memajukan pertanian ialah membuat kebun percontohan sebagai proyek Latihan bagi masyarakt petani Tondei. Kebun itu dibuka pada bulan Juli 1984 di bawah bimbingan tenaga-tenaga akhli dasri BLPP (Balai Latihan Pegawai Pertanian) Kalasey Manado. Pemerintah desa Tondei boleh mengirim beberapa orang ke BLPP Kalasey untuk dilatih dalam mengolah tanah, cara memakai pupuk dan sebagainya. Selesai latihan mereka kembai ke Tondei untuk membimbing para petani dengan kebun percontohan sebagai arena latihan. Hasil tanaman kebun percontohan dapat dijual untuk dana pembangunan desa.
Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemerintah desa berdaya upaya agar Proyek Air Minum dapat selesai dalam tahun ini juga. Pipa-pipa dari berbagai ukuran dibeli di Manado dan sebagainya telah dipasang, sumber air terletak kurang lebih 1 km di sebelah timur desa. Walaupun baru 60 % selesai tetapi sebagian rakyat Tondei sudah dapat mempergunakan air ledeng tersebut.
Demikian proyek-proyek pembangunan yang sedang dihadapi masyarakat Tondei sekarang ini.